Ketika Rudal Bicara, Kata Tak Lagi Bermakna
Suara paling lantang di Timur Tengah bulan ini bukanlah pidato presiden atau khutbah ulama, melainkan dentuman rudal yang bersahutan antara Iran dan Israel. Selama dua belas hari---13 hingga 24 Juni 2025---langit dipenuhi jejak api, tanah terguncang, dan perdagangan minyak terhenti sejenak; kerugian ekonomi diperkirakan menembus triliunan dolar AS. Namun, gemuruh itu tiba-tiba membisu ketika Presiden AS Donald Trump mengumumkan "Complete and Total CEASEFIRE". Sehari kemudian, Ben Gurion Airport kembali beroperasi penuh, dan Iran mulai membuka sebagian wilayah udaranya di timur---sunyi menggantikan sirine cbsnews.comtimesofisrael.comhindustantimes.com.
Keputusan untuk berhenti menembak bukan lahir dari cinta, melainkan dari logika matematis perang: setiap roket balasan memperkecil peluang menang, setiap detik tanpa letusan memperpanjang napas ekonomi. Diam, dalam konteks ini, jauh lebih nyaring daripada meriam.
"Kadang yang paling nyaring bukan suara rudal, tetapi diam yang disepakati bersama."
Indonesia, Pemilu Usai, Perang Narasi Berkepanjangan
Mari menoleh ke halaman sendiri. Pemilu 2024 sudah berlalu, namun republik ini masih gaduh seakan TPS belum ditutup. Bukannya merayakan pesta demokrasi dengan syukur, sebagian elite melanjutkan kampanye dalam bentuk lain---gugatan di Mahkamah Konstitusi, adu hashtag, hingga saling lapor di kepolisian.
Ironisnya, medan perangnya justru ruang digital; pelurunya potongan video, misalnya, atau meme yang dipoles buzzer. Korbannya bukan kandidat---mereka siap dengan "tameng" PR---melainkan rakyat yang menanti pekerjaan. Per Maret 2024, tingkat pengangguran usia 20--24 tahun masih 15,3 %---hampir tiga kali lipat rata-rata nasional bps.go.id. Harga beras naik, pupuk langka, tapi talk-show politik tetap "tayang langsung" setiap malam di layar kaca.
Kita seolah negara yang kelebihan politisi dan kekurangan teknisi: terlalu banyak orang pandai bertengkar, terlalu sedikit yang paham cara memperbaiki mesin ekonomi.
Mengapa Kita Butuh Gencatan Senjata Politik
Demokrasi sehat memang mensyaratkan oposisi; yang tidak sehat adalah oposisi permanen tanpa agenda konstruktif. Gencatan senjata politik---bukan sekadar rangkulan elok di atas panggung---berarti menunda ego, menahan tangan sebelum mencuit, menimbang dampak sebelum bicara.
Ini bukan seruan "semua harus setuju", melainkan ajakan mengganti mode: dari "kampanye" ke "kerja". Sesudah pemilu, narasi publik seharusnya beralih dari "siapa dapat kursi" ke "siapa dapat solusi". Di titik inilah politisi Indonesia bisa belajar dari Iran--Israel: dua musuh bebuyutan tahu kapan harus berhenti; masa kita, satu bangsa, justru terus baku hantam?
"Kalau Iran dan Israel bisa menahan rudal, masa kita tak bisa menahan cuitan?"
Gencatan senjata politik juga bukan kekalahan. Ia justru kemenangan strategi: energi yang tadinya dihabiskan membakar lawan di talk-show bisa dialihkan untuk merancang sistem logistik pangan, memperluas jaringan 5G, atau menguatkan UMKM.
Menangkan Rakyat, Bukan Sekadar Pemilu
Hakikat demokrasi bukan berakhir di bilik suara; ia berujung pada roti di meja, pekerjaan di tangan, dan sekolah yang terjangkau. Pesta rakyat tak berhenti pada malam rekapitulasi, tetapi pada saat angka kemiskinan turun.
Itulah sebabnya bangsa ini perlu sunyi sejenak---bukan sunyi pasif, melainkan hening produktif: parlemen fokus legislasi pro-pekerja, pemerintah eksekusi program tanpa drama reshuffle, oposisi mengawasi dengan data, bukan dengki. Di situlah gencatan senjata politik menemukan maknanya: diam demi bekerja, bukan diam demi diam.
"Rudal bisa dihentikan dengan perjanjian; narasi hanya bisa dihentikan bila hati memilih diam demi rakyat."
Jika elite bersedia menukar satu konferensi pers dengan satu rapat teknis pembangunan, menunda satu deklarasi kemenangan untuk satu deklarasi harga pupuk stabil, Indonesia akan memenangkan yang lebih penting daripada pemilu: kepercayaan warga---mata uang paling berharga sebuah republik. Sunyi itu, percayalah, akan lebih meriah daripada kembang api kampanye mana pun.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI