H. Abdul Wahid Azar, S.H., M.H. adalah penulis buku "Konstitusi dalam Badai, Dari Cawe-Cawe, Mahkamah Keluarga hingga Wacana Pemakzulan".
Surat yang Terbuka, Tapi Jalan Konstitusi Tetap Tertutup
Pada tanggal 26 Mei 2025, empat tokoh purnawirawan TNI---Jenderal (Purn.) Fachrul Razi, Marsekal (Purn.) Hanafie Asnan, Jenderal (Purn.) Tyasno Soedarto, dan Laksamana (Purn.) Slamet Soebijanto---mengirimkan surat terbuka kepada DPR dan MPR RI. Surat tersebut menyuarakan keprihatinan mereka atas proses pencalonan dan terpilihnya Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden.
Inti kekhawatiran mereka berakar pada dugaan bahwa terdapat cacat etik dan potensi pelanggaran dalam proses konstitusional tersebut, terutama karena keterkaitan Gibran dengan Anwar Usman, yang kala itu menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi sekaligus paman kandungnya.
Masalahnya Ada di Putusan, Tapi Putusannya Sudah Final
Pangkal dari seluruh kontroversi ini adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang menyatakan bahwa ketentuan usia minimal 40 tahun untuk menjadi calon presiden/wakil presiden tidak berlaku bagi mereka yang pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.
Putusan ini membuka jalan bagi Gibran, Wali Kota Surakarta, untuk memenuhi syarat sebagai cawapres, meski usianya belum 40 tahun. Polemik pun merebak karena Anwar Usman---yang berkerabat langsung dengan Gibran---ikut serta dalam memutus perkara tersebut.
Namun, dari sisi hukum, putusan itu bersifat final dan mengikat. Hal ini ditegaskan dalam:
Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi: "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.", dan
**Pasal 10 ayat (1) huruf a jo. Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang berbunyi: Pasal 10 ayat (1): "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. memutus pembubaran partai politik; dan d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum."
Pasal 47: "Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.".**
Dengan dasar tersebut, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak dapat digugat kembali atau dibatalkan oleh lembaga lain. Ia adalah norma baru yang berlaku secara langsung.
Etika Sudah Diuji, Tapi Tak Menggugurkan Hukum
Memang, dari segi etik, persoalan ini telah diuji secara resmi oleh lembaga internal Mahkamah Konstitusi. Hasilnya, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) pada Putusan Nomor 2/MKMK/L/11/2023 tanggal 07 November 2023, menyatakan bahwa Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.
Anwar dijatuhi sanksi pencopotan dari jabatan Ketua MK. Namun perlu ditegaskan, putusan etik tidak membatalkan putusan hukum. Dengan demikian, meskipun ada pelanggaran etik, substansi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tetap berlaku dan tidak dibatalkan.
Asas Hukum, Putusan Final Dianggap Benar
Dalam doktrin hukum, dikenal asas,
res judicata pro veritate habetur
Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap harus dianggap benar.
Asas ini menjadi benteng stabilitas sistem hukum. Ia mencegah agar hukum tidak bisa dibatalkan hanya karena ada tekanan opini atau gejolak moral. Dalam konteks ini, surat terbuka dari para purnawirawan adalah ekspresi etis dan politis, tetapi tidak memiliki daya pembatalan hukum.
Legitimasi Boleh Digugat, Tapi Hukum Tetap Berdiri
Benar bahwa banyak pihak mempersoalkan legitimasi dari pemilihan Wakil Presiden. Namun dalam negara hukum, legalitas adalah titik pijaknya. Legitimasi boleh menjadi perdebatan publik, tapi legalitas ditentukan oleh hukum positif.
Sejauh ini, tidak ada pelanggaran berat terhadap Pasal 7A dan 7B Undang-Undang Dasar 1945 yang bisa menjadi dasar pemakzulan. Tidak ada bukti tindak pidana berat. Tidak ada usulan resmi dari DPR kepada MK untuk menguji pelanggaran. Maka, tidak ada alasan konstitusional untuk memulai proses pemakzulan.
Demokrasi Tidak Bisa Berdiri di Atas Kemarahan
Kita bisa kecewa, kita boleh curiga, kita boleh gelisah. Tapi dalam sistem ketatanegaraan, kemarahan bukanlah dasar hukum. Pemakzulan tidak bisa dimulai dari Twitter atau forum WA grup. Ia butuh bukti, mekanisme, dan konsensus konstitusional.
Surat terbuka boleh menggugah kesadaran, tapi tidak cukup untuk membuka pintu konstitusi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI