Bryan Mills, Usman-Harun, dan Pelajaran dari Keheningan yang Mengguncang
Ketika para purnawirawan bersuara lantang soal pemakzulan, saya justru teringat pada Bryan Mills. Bukan karena ia pensiunan CIA, tapi karena ia tak pernah bikin surat terbuka. Ia hanya bergerak. Sunyi. Tapi mematikan.
Di tengah riuh politik hari ini---surat terbuka ke DPR, pernyataan sikap di media, analisis pakar di tiap kanal YouTube---saya justru merenung:
Apakah ini langkah taktis? Atau justru membuka ruang bagi lawan untuk menyusun langkah lebih cepat, lebih licin, lebih sistematis?
Dan di titik ini, bayangan Bryan Mills muncul begitu jelas.
Sunyi yang Bekerja
Ia bukan orator. Ia bukan komandan pasukan.
Bryan Mills adalah pensiunan agen, ayah biasa, tanpa kekuasaan formal. Tapi ketika anaknya diculik, ia tak menunggu negara.
Tak juga berkoar-koar.
Yang ia lakukan: bergerak.
Membaca petunjuk. Menghimpun jejak. Menyusup ke jantung musuh.
Tanpa unggahan story, tanpa surat terbuka, tanpa press release.
Bagi Bryan, kekuatan bukan pada suara---tapi pada arah.
Bukti yang kuat, bukan opini yang nyaring, adalah senjatanya.
Usman-Harun: Sunyi yang Disiplin
Dan Bryan Mills bukan satu-satunya simbol strategi sunyi. Kita punya yang lebih nyata: Usman dan Harun.
Prajurit kecil dari Indonesia yang menyusup ke Singapura tahun 1965.
Tanpa kamera. Tanpa publikasi.
Tapi dengan satu misi: menanam pesan strategis di tengah kota yang dijaga ketat.
Mereka tak tampil di forum internasional.
Tak menulis keluhan diplomatik.
Mereka menyusup, menjalankan tugas, lalu tertangkap.