" Dari Big Bang, Sriwijaya, Majapahit hingga GBK --- Membangun Sepak Bola dengan Karakter, Bukan Karnaval."
"Memahami sejarah dapat membantu kita belajar mempersiapkan masa depan." --- Bill Gates
Kutipan ini muncul saat Bill Gates mengulas pendekatan Big History dari David Christian. Tapi tenang, kita nggak akan bahas kosmologi berat. Kita mau bicara bola, dan kenapa sepak bola kita butuh pahlawan lokal, bukan superhero impor. Karena kalau tiap kali kalah langsung impor pemain, itu kayak orang sakit kepala langsung minta transplantasi otak. Berlebihan, bos.
Sepak bola itu kadang mirip kehidupan---kadang menang karena hoki, kadang kalah karena tukang parkir merangkap striker. Tapi kalau kita pakai kacamatanya David Christian, kekalahan Timnas Indonesia bukan sekadar hasil pertandingan, tapi bab dari cerita panjang bangsa yang lupa jalan pulang ke kejayaannya.
Kita Dulu Jago, Lho! (Waktu Jepang Masih Belajar Ngecat Mobil)
Dulu, sebelum Asia ramai stadion mewah dan pelatih lisensi UEFA, kita sudah punya Sriwijaya dan Majapahit. Sriwijaya jadi pusat belajar, Majapahit jadi raja aliansi. Mereka mainnya nggak cuma di darat, tapi juga di laut---full pressing dari Samudra Hindia sampai Laut Tiongkok Selatan.
Sekarang? Kita masih ribut di komentar. Timnas kalah, stadion dibakar. Menang pun tetap dicurigai. Mungkin kita butuh konseling nasional, bukan cuma evaluasi strategi.
Naturalisasi Itu Makeup, Bukan Otot
Sudah coba panggil pemain Eropa, pelatih Belanda, bahkan hampir undang peramal buat susunan tim. Tapi tetap saja kalah. Naturalisasi itu kayak nyewa artis buat pesta, tapi dapurnya bocor. Gimana mau pesta bola kalau nasi gorengnya aja gosong?
Pelatih asing juga mirip saham IPO: dibeli waktu ramai, dijual waktu rugi. Naik-turun, kadang cuan, kadang nyesek. Masalahnya bukan siapa yang melatih, tapi sistem yang dilatih. Kalau sistemnya masih kacau, ya hasilnya tetap mental kacangan.