Panggung yang Tak Dibayar Algoritma
Saat dunia politik diisi oleh selebritas dadakan, yang lebih sibuk berebut kamera daripada membuat karya nyata, Indonesian Idol justru menawarkan ruang bernyanyi yang menyembuhkan. Di panggung politik, algoritma dibayar mahal. Di sini, suara murni dihargai.
Ketika Shabrina menang, ia tidak berteriak soal elektabilitas. Ia tidak membawa barisan buzzer, tidak mengatur narasi media. Yang ia bawa hanya suara, doa, dan pengorbanan. Dan itu cukup untuk membuat bangsa ini berdiri dan bertepuk tangan.
Inilah konser kesungguhan, bukan konser pencitraan. Inilah suara rakyat yang sebenarnya. Bukan polling, bukan survei, bukan trending karena sponsor.
Pelajaran dari Shabrina dan Para Juri
Malam itu, kita tidak hanya menonton sebuah ajang. Kita menyaksikan teater kolaborasi yang berhasil. Semua saling mendukung, semua tahu porsinya. Tidak ada yang ingin tampil lebih dari yang lain. Justru karena itu, semuanya tampak lebih bersinar.
Semoga para pejabat kita, para pemburu spotlight dan algoritma, sempat menonton tayangan malam itu.Â
Agar tahu:
Kadang, untuk membuat orang percaya, cukup jadi jujur.
Untuk tampil menonjol, kadang cukup tahu kapan harus diam.
Dan untuk memimpin, mungkin... cukup jadi juri yang tahu kapan bicara, kapan menangis, dan kapan memberi panggung pada orang lain.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI