Dulu kita hanya mengenal bank dengan kantor cabang, antrean teller, dan formulir yang harus ditandatangani tiga kali. Kini, kita hidup di era bank digital---semua cukup lewat aplikasi, buka rekening bisa sambil rebahan, transfer antarbank gratis, bahkan bunga tabungan lebih tinggi dari deposito konvensional.
Tapi di tengah derasnya kemunculan bank digital seperti Jago, SeaBank, Neo+, Blu by BCA, hingga Digibank by DBS, ada satu pertanyaan penting:
Siapa yang benar-benar kuat, dan siapa yang hanya bakar uang demi bertahan? Atau jangan-jangan... sebagian mulai berubah arah, jadi 'pinjol terselubung'?
 Transaksi Ritel: Ramai Tapi Tak Selalu Menguntungkan
Bank digital memang menciptakan ekosistem transaksi yang luar biasa aktif. Pembayaran tagihan, top up e-wallet, beli pulsa, kirim uang---semuanya lewat satu aplikasi. Tapi, perlu diingat:
fee dari transaksi-transaksi ini sangat kecil, berkisar antara Rp500 -- Rp1.500 per transaksi.
Kalau pengguna aktifnya jutaan, tetap belum tentu cukup menutup biaya promosi, teknologi, pengembangan aplikasi, hingga biaya SDM. Maka muncul istilah dalam dunia startup: burn rate. Bakar uang untuk akuisisi pengguna, berharap nanti bisa untung... entah kapan.
Jalan Pintas: Lari ke Pinjaman Konsumtif
Inilah celah yang kini banyak dimasuki oleh bank digital: menyalurkan pinjaman tanpa jaminan. Bisa berbentuk:
Kerja sama dengan fintech lending
Pinjaman instan di dalam aplikasi
Fitur "Bayar Nanti" layaknya paylater
Contoh: