Mereka tak saling kenal. Tak pernah duduk satu forum. Tapi ketiganya memiliki satu benang merah, gubernur yang terlalu jauh masuk ke dalam dapur bank.
Dan bukan hanya mereka. Di luar tiga nama besar tadi, publik juga telah menyaksikan skandal besar lain yang mengguncang Bank Papua, Bank NTT, Bank Jateng, Bank Sumut, Bank Sulselbar, hingga Bank Maluku. Ada yang terseret kasus kredit fiktif ratusan miliar, ada pula yang tersandung pembagian bonus ilegal, bahkan gagal bayar karena investasi bodong. Semua mengarah pada pola yang sama: manajemen yang rapuh, direksi yang ditekan, dan pengawasan yang lemah karena politik terlalu dalam mencengkeram bank.
Ketika cinta pada bank daerah terlalu dalam, maka profesionalisme tak lagi punya ruang. Yang berbicara hanyalah kuasa.
Profesional atau Penurut?
Di atas kertas, bank adalah lembaga profesional.
Direksi dipilih lewat uji kelayakan, integritas jadi harga mati.
Tapi dalam praktik, banyak yang mengatakan:
"Yang dicari bukan yang cerdas, tapi yang bisa 'diatur.'"
Direksi yang teguh prinsip, akan dicap keras kepala.
Yang tunduk, akan naik cepat.
Yang kritis, bisa tiba-tiba hilang jabatan.
Seperti kasus Direktur IT Bank DKI---dipecat hanya karena sistem error. Tapi benarkah hanya sistemnya yang bermasalah, atau ada pesan politik di balik pencopotan?
"Bunuh satu monyet, untuk menakut-nakuti seribu kambing."
Dalam konteks ini, Â copot satu direksi, agar yang lain tak berani melawan arus kuasa.
ATM Kekuasaan Berkedok Bank Daerah
Bank daerah seharusnya: