Beliau hanya mengangguk ringan, lalu menatap saya, seolah menunggu jawaban saya sendiri.
Saya berpikir sejenak, lalu dengan yakin berkata, "Sebenarnya, pindah ke IKN itu cuma butuh dua hal, Â WiFi dan nyali. Ya kan, Pak?"
Beliau terkekeh, "Nah, itu anda mengerti?"
Kami pun tertawa bersama. Saya membayangkan skenario unik di mana para pejabat mulai kerja dari IKN dengan hanya berbekal laptop, sinyal WiFi, dan segudang keberanian.
Tidak ada kota yang langsung sempurna saat pertama kali dibuka. Dulu, siapa sangka BSD atau Bekasi yang dulu dianggap "tempat jin buang anak" kini berubah menjadi kawasan modern dengan mal besar, apartemen, dan pusat bisnis? Sekarang bahkan supermarket jin juga sudah jadi kota di Bekasi! IKN pun seharusnya begitu.Â
Tidak perlu menunggu segalanya sempurna, yang penting mulai dulu. Kalau nunggu semua fasilitas lengkap, nanti ada pejabat yang baru mau pindah setelah pusat relaksasi dan spa resmi beroperasi!
IKN dan Perjalanan Sejarah Pindahnya Ibu Kota Dunia
Saya dan Pak Jokowi akhirnya duduk di bangku taman, menatap langit Solo yang cerah. Saya kembali berpikir, pindah ibu kota memang bukan hal yang mudah, tapi bukan juga hal yang mustahil. Banyak negara telah melakukannya dengan tantangan yang jauh lebih besar.
"Pak, kalau lihat sejarah, nggak ada ibu kota yang pindah langsung sempurna, ya?"
Pak Jokowi tersenyum. "Tentu. Dulu Brasil memindahkan ibu kotanya dari Rio de Janeiro ke Braslia tahun 1960. Orang-orang protes, katanya itu kota di tengah hutan, siapa yang mau tinggal di sana? Tapi lihat sekarang, Braslia jadi pusat pemerintahan yang modern."
Saya mengangguk. "Iya, Pak. Jepang juga begitu. Tokyo dulu namanya Edo, dan dipindahkan dari Kyoto. Awalnya nggak semua orang setuju, tapi akhirnya justru jadi kota paling maju di dunia."