Malam itu, selepas salat tarawih di Masjid Raya Sheikh Zayed, Solo, saya berkesempatan berbincang dengan mantan Presiden Joko Widodo. Malam yang tenang, angin sepoi-sepoi menyusup di antara arsitektur putih megah masjid yang menjadi simbol persahabatan Indonesia dan Uni Emirat Arab.
Saat bersalaman, saya menyapa, "Assalamu'alaikum Wr. Wb., Pak."
Beliau membalas dengan senyum khasnya, "Wa'alaikumussalam Wr. Wb."
Kami pun berjalan pelan, menyusuri pelataran masjid, menikmati suasana yang damai.
"Ini masjid simbol persahabatan kedua negara," Pak Jokowi membuka obrolan. "Indonesia dan Persatuan Emirat Arab memiliki hubungan yang sangat baik. Saya dekat dengan Almarhum Syekh Zayed dan juga Presiden Mohamed bin Zayed.Â
Makanya, masjid ini bukan hanya tempat ibadah, tapi juga simbol eratnya hubungan kita dengan dunia Arab."
Saya mengangguk, "Iya, Pak. Masjidnya adem. Kayaknya kalau oposisi datang ke sini juga bisa adem pikirannya, ya?"
Beliau terkekeh, namun saya tahu ke mana arah pembicaraan ini bakal mengarah. Malam ini bukan hanya soal nostalgia atau sekadar membahas arsitektur masjid. Ada hal yang lebih besar, yang menggelayuti percakapan politik nasional.
Kami melanjutkan obrolan sambil berjalan di taman masjid yang megah. Saya akhirnya bertanya, "Pak, kenapa belum pindah ke IKN? Kalau nunggu sempurna, ya nggak akan selesai-selesai. Harusnya pindah dulu aja, sambil dibangun kan bisa?"
Pak Jokowi tersenyum lebar. Lalu dengan nada santai, beliau menjawab, "Ya, tanya Pak Prabowo saja, kenapa belum pindah?"
Saya tertawa kecil, paham betul arah jawaban ini. "Bukankah infrastruktur hukum sudah siap, bangunan juga sudah layak ditempati, tinggal jalan aja?"
Beliau hanya mengangguk ringan, lalu menatap saya, seolah menunggu jawaban saya sendiri.
Saya berpikir sejenak, lalu dengan yakin berkata, "Sebenarnya, pindah ke IKN itu cuma butuh dua hal, Â WiFi dan nyali. Ya kan, Pak?"
Beliau terkekeh, "Nah, itu anda mengerti?"
Kami pun tertawa bersama. Saya membayangkan skenario unik di mana para pejabat mulai kerja dari IKN dengan hanya berbekal laptop, sinyal WiFi, dan segudang keberanian.
Tidak ada kota yang langsung sempurna saat pertama kali dibuka. Dulu, siapa sangka BSD atau Bekasi yang dulu dianggap "tempat jin buang anak" kini berubah menjadi kawasan modern dengan mal besar, apartemen, dan pusat bisnis? Sekarang bahkan supermarket jin juga sudah jadi kota di Bekasi! IKN pun seharusnya begitu.Â
Tidak perlu menunggu segalanya sempurna, yang penting mulai dulu. Kalau nunggu semua fasilitas lengkap, nanti ada pejabat yang baru mau pindah setelah pusat relaksasi dan spa resmi beroperasi!
IKN dan Perjalanan Sejarah Pindahnya Ibu Kota Dunia
Saya dan Pak Jokowi akhirnya duduk di bangku taman, menatap langit Solo yang cerah. Saya kembali berpikir, pindah ibu kota memang bukan hal yang mudah, tapi bukan juga hal yang mustahil. Banyak negara telah melakukannya dengan tantangan yang jauh lebih besar.
"Pak, kalau lihat sejarah, nggak ada ibu kota yang pindah langsung sempurna, ya?"
Pak Jokowi tersenyum. "Tentu. Dulu Brasil memindahkan ibu kotanya dari Rio de Janeiro ke Braslia tahun 1960. Orang-orang protes, katanya itu kota di tengah hutan, siapa yang mau tinggal di sana? Tapi lihat sekarang, Braslia jadi pusat pemerintahan yang modern."
Saya mengangguk. "Iya, Pak. Jepang juga begitu. Tokyo dulu namanya Edo, dan dipindahkan dari Kyoto. Awalnya nggak semua orang setuju, tapi akhirnya justru jadi kota paling maju di dunia."
Beliau menambahkan, "Bahkan Amerika pun butuh waktu lama sebelum Washington D.C. bisa jadi pusat pemerintahan yang layak. Sebelum itu, mereka pakai New York dan Philadelphia dulu."
Saya terkekeh, "Nah, kalau gitu kita tunggu apa lagi? Mau nunggu sampai ada MRT bawah tanah dan gedung pencakar langit dulu?"
Pak Jokowi tertawa. "Ya, kalau mau nunggu sampai ada Disneyland IKN dulu, ya bisa 50 tahun lagi!"
Kami pun sama-sama tertawa. Kesimpulannya jelas: tak ada ibu kota yang langsung sempurna sejak hari pertama. Yang penting, keberanian untuk memulai lebih dahulu. Jika Braslia, Washington D.C., dan Tokyo bisa berkembang dari awal yang sederhana, kenapa IKN harus menunggu sempurna dulu?
Jadi, WiFi sudah ada, tinggal nyali yang perlu dikumpulkan.Â
Kalau terus menunggu, mungkin kita baru pindah setelah IKN punya mal dengan atraksi lumba-lumba!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI