Namun, tanpa kejelasan dalam batas kewenangan dan mekanisme pengambilan keputusan, ada potensi bahwa Danantara hanya akan menjadi lapisan birokrasi tambahan yang justru memperlambat pengambilan keputusan bisnis.
Jika fungsi utamanya hanya mengelola aset tanpa kemampuan investasi yang agresif, maka sulit untuk membayangkan bagaimana Danantara bisa bersaing dengan entitas sejenis di tingkat global.
Regulator atau Pemain Bisnis?
Salah satu isu utama yang muncul adalah apakah Danantara akan bertindak sebagai regulator yang mengawasi kinerja BUMN atau justru menjadi pemain aktif dalam industri yang dikelolanya.
Jika berperan sebagai regulator, maka Danantara seharusnya tidak mengintervensi keputusan bisnis BUMN yang sudah go public.
Namun, jika ingin menjadi pemain bisnis, maka Danantara akan memasuki area yang rawan konflik kepentingan, terutama dalam pengelolaan aset yang sudah memiliki investor publik.
Ketidakjelasan peran ini dapat menimbulkan ambiguitas kebijakan yang justru merugikan stabilitas sektor ekonomi yang seharusnya diperkuat oleh kehadiran Danantara.
Teori Red Tape dan Dampaknya terhadap Danantara
Teori Red Tape (Bozeman, 1993) menjelaskan bahwa birokrasi yang terlalu besar dan regulasi yang berlebihan justru memperlambat efektivitas organisasi. Dalam konteks Danantara, kehadiran badan ini menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas tata kelola BUMN.
Jika sebelumnya pengelolaan aset negara sudah berada di bawah koordinasi Kementerian BUMN, lalu apa urgensi membentuk badan tambahan seperti Danantara? Apakah badan ini akan benar-benar meringankan beban birokrasi atau justru menambah kompleksitas administrasi?
Jika Danantara menciptakan lapisan tambahan dalam pengambilan keputusan, maka bisa memperlambat kinerja BUMN yang seharusnya gesit dalam beradaptasi dengan tantangan ekonomi global.