Sebagai perusahaan terbuka, BUMN ini memiliki ribuan pemegang saham publik, termasuk investor asing dan institusi besar. Jika Danantara ingin ikut campur dalam keputusan bisnis mereka, apakah harus mendapat persetujuan dari pemegang saham lainnya?
Keputusan Danantara dalam mengelola aset BUMN yang telah go public harus dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan investor publik dan stabilitas pasar modal, agar tidak menimbulkan ketidakpastian yang dapat berdampak negatif pada kepercayaan investor.
Kenapa Tidak Fokus pada BUMN Mati Suri?
Jika benar ingin menyelamatkan aset negara, mengapa Danantara tidak lebih dulu menangani BUMN yang sakit dan nyaris bangkrut? Saat ini, ada 22 BUMN yang dalam kondisi bermasalah, beberapa di antaranya:
PT Merpati Nusantara Airlines (sudah dibubarkan karena gagal restrukturisasi)
PT Kertas Leces (mati karena tidak mampu bersaing di industri kertas)
PT Istaka Karya (bangkrut akibat proyek macet dan utang besar)
PT PANN Multifinance (terjebak dalam utang sektor maritim yang tidak produktif)
PT Barata Indonesia (kesulitan likuiditas dan tidak kompetitif di industri baja)
Jika Danantara benar-benar ingin menciptakan nilai tambah bagi ekonomi, seharusnya mereka fokus pada restrukturisasi BUMN sakit lebih dulu, sebelum mengambil alih BUMN besar yang sudah sukses dan menguntungkan.
Mengelola BUMN yang sudah mapan mungkin terlihat sebagai langkah strategis yang aman, tetapi esensi dari revitalisasi ekonomi adalah bagaimana menyelamatkan BUMN yang bermasalah agar tidak terus menjadi beban negara.