Gaduhnya Awal Pemerintahan dan Sorotan terhadap Kementerian
Sejak awal pemerintahan Prabowo-Gibran, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menjadi sorotan tajam. Berbagai persoalan mencuat, mulai dari kasus pagar laut yang menuai polemik, pembatalan sertifikat tanah yang berpotensi memicu sengketa berkepanjangan, hingga maraknya sertifikat ganda yang kembali mengungkap carut-marut sistem pertanahan di Indonesia. Di tengah kegaduhan ini, kebakaran yang melanda Gedung ATR/BPN justru semakin menambah panas situasi. Apakah ini sekadar insiden teknis atau menjadi simbol dari kekacauan yang lebih besar di tubuh kementerian ini?
Kebijakan yang Kontraproduktif dan Dampaknya
Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, terlihat melakukan langkah cepat dalam menindak berbagai permasalahan, termasuk pemecatan enam pegawai terkait kasus pagar laut. Namun, langkah ini dinilai kontra-produktif, mengingat landasan hukum terkait kasus tersebut masih dalam tahap kajian. Tindakan pemecatan yang terburu-buru berisiko menimbulkan dampak hukum lebih lanjut, termasuk gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) jika prosedur yang dilakukan pegawai tersebut ternyata sudah sesuai dengan aturan yang berlaku.
Selain itu, dalam kasus pembatalan sertifikat tanah, pertanyaan besar muncul: bagaimana jika prosedur yang ditempuh pemilik lahan sebenarnya sah dan telah melalui tahapan legal yang benar? Apakah negara siap menghadapi gelombang gugatan yang mungkin muncul dari pihak-pihak yang merasa dirugikan? Lebih lanjut, jika Hak Guna Bangunan (HGB) telah diterbitkan dan pembayaran ke negara telah dilakukan, apakah ada mekanisme kompensasi yang jelas bagi mereka yang kehilangan hak atas tanahnya? Sayangnya, hingga kini, tidak ada jawaban tegas dari pemerintah, yang justru terlihat bertindak tanpa kejelasan hukum yang memadai.
Kasus penggusuran di Cluster Setia Mekar Residence 2, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, semakin memperumit situasi. Sebanyak 27 bidang tanah digusur oleh Pengadilan Negeri Cikarang Kelas II pada 30 Januari 2025, termasuk lima rumah dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang sah atas nama pemiliknya. Menteri Nusron Wahid mengklaim bahwa eksekusi tersebut tidak sesuai prosedur, karena pengadilan tidak mengajukan pembatalan sertifikat terlebih dahulu kepada BPN Kabupaten Bekasi. Jika benar demikian, maka kejadian ini bukan hanya kesalahan prosedural tetapi juga ancaman terhadap kepastian hukum bagi pemilik tanah yang sah. Situasi ini menambah panjang daftar persoalan ruwet yang dihadapi kementerian ATR/BPN.
Kebakaran dan Dampaknya terhadap Kepercayaan Publik
Saat isu pertanahan semakin pelik, kebakaran yang terjadi di gedung ATR/BPN menambah babak baru dalam kontroversi yang sedang berlangsung. Publik mulai berspekulasi dan bertanya-tanya, Apakah ini murni insiden teknis, atau ada aspek lain yang perlu dikaji lebih mendalam? Mengingat banyaknya kasus pertanahan yang melibatkan dokumen manual, kebakaran ini menimbulkan kekhawatiran terkait kemungkinan terdampaknya berkas-berkas penting, baik dalam bentuk manual maupun elektronik, yang digunakan dalam berbagai kasus pertanahan. Jaringan IT yang terbakar juga berpotensi menyebabkan hilangnya data digital yang tersimpan dalam sistem.
Sindiran pun muncul di kalangan masyarakat, Semoga kebakaran ini tidak membakar berkas-berkas manual yang bisa digunakan untuk audit dan investigasi lebih lanjut. Jika benar kebakaran ini menghanguskan dokumen penting, maka diperlukan investigasi lebih lanjut untuk memastikan bahwa tidak ada dokumen penting yang hilang atau rusak akibat insiden ini, termasuk kemungkinan terganggunya akses ke data pertanahan yang tersimpan secara digital.
Di tengah ruwetnya persoalan agraria, kejadian ini semakin menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap kredibilitas kementerian.
Refleksi dan Langkah Perbaikan yang Diperlukan