Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Politik

Teroris dan Empu Gandring

7 Mei 2021   05:21 Diperbarui: 7 Mei 2021   05:25 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : foto penulis

Sang Empu Gandring meminta   tumbal, sang legendaris ini menuntut banjir darah akibat dinodai dan dirampas nyawanya oleh Ken arok. Anak turun Ken Arok dan Anusapati terus bertikai yang ujung-ujungnya nyawa melayang di tangan keris bikinan Empu Gandring. Silih berganti  aksi kekacauan, radikalisme dan kudeta mewarnai anak bangsa, generasi priyayi, dan "kelompok darah biru" akibat telah  salah memilih jalan dengan cara menumbalkan nyawa manusia.

Mulai dari  Tumapel-Kediri hingga berdiri dan berkembangya Majapahit, Keris Empu Gandring terus-menerus meminta tebusan darah dari trah penguasa (raja) yang terbunuh.  Salahkah Empu Gandringnya? Tidak, karena ia membuat alat untuk mempertahankan dan menjaga diri dari kemungkinan tindakan jahat dan pelanggaran HAM, namun akibat keris tersebut (symbol senjata dan kekuasaan) yang disalahgunakan, akibatnya  banyak nyawa  yang ikut dipertaruhkan. Dan inilah bentuk kekuasaan penuh intrik yang salah satunya menggunakan kesaktian keris Empu Gandring sebagai alat memediasinya.

Barangkali itulah deskripsi lain dari "mengorbankan satu nyawa sama dengan mengorbankan manusia sejagad", bahwa nyawa manusia yang terampas telah menjadi dosa warisan  yang menyulut lahirnya dendam, kedengkian, dan konflik berkepanjangan, yang kemudian  mengakibatkan  banyak nyawa dikorbankan. Dari satu nyawa yang terampas, muncullah dendam komulatif dan "kompetitif" yang bisa jadi diorganisisir dan dididik untuk ditingkatkan ke tahap pelampiasan dan pengorbanan.

Pelampiasan dan pengorbanan ditempuh antara lain lewat  slogan "bellum omnium contra omnes" (pertikaian antar kelompok),  kelompok satu melawan kelompok lain untuk merepresentasi dan memediasi satu atau dua nyawa yang tercerabut. Tentu saja dengan terlibatnya kekuatan kelompok dalam pelampiasan dendam ini, bisa  ribuan dan bahkan puluhan ribu nyawa manusia menjadi korbannya

Jika kasus sekarang dianalisis dengan kasus Empu Gandring, maka negeri ini tak ubahnya sebagai potret negeri kaum leluhur yang pernah diwarnai oleh dendam yang tak berkesudahan yang menoleransi ujaran kebencian dan kekerasan fisik. Dendam dilampiaskan  bisa dalam wujud penghambaan pada ideologi eksklusif, atau  karena memang diantara kita sudah terbiasa  menggunakan cara-cara seperti pendahulu (Ken Arok misalnya) dalam mewujudkan "birahi" animalistik.

Patut diniscayakan kalau kekerasan sampai mengorbankan nyawa itu merupakan deskripsi faktual  dehuministik dari diri kita sendiri yang memang gampang melakukan dan menyemaikan pelanggaran atas hak-hak asasi manusia (HAM) lewat "bedil", pentungan, dan senjata tajam. Ibaratnya, kita gampang menggunakan ruh Empu Gandring untuk menabur dendam dan terjagalnya "manusia sejagad". Kapankah hal ini bisa diakhiri?  Tergantung kita sebagai pelaku sejarahnya, mau kita bawa kemana Indonesia  ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun