"Bagi saya apapun, pemerintah provinsi siap support yang penting kita kembalikan kejayaan udang windu," ungkap gubernur Sulawesi selatan, Prof. HM Nurdin Abdullah yang disambut tepuk tangan meriah dari sekitar 200 orang undangan pertemuan seusai melakukan panen udang windu ramah lingkungan di desa Waetuoe kecamatan Lanrisang, Pinrang, Senin siang (16/11).
Bagi gubernur selama ini udang windu membuat orang Pinrang, Barru dan orang Pangkep sejahtera. Pada kejayaan udang windu  di masa lalu banyak ditemui orang naik umrah dan naik haji hasil dari tambak.  Sekarang, dari sepuluh orang  naik haji yang kita tanya belum tentu ada satu yang mengatakan saya adalah petambak. "Ini artinya, kita sudah tinggalkan keunggulan kita. Oleh karena itu saya sangat mendukung kabupaten Pinrang salah satu daerah di Sulsel yang konsisten hasilkan udang windu," kata Nurdin Abdullah.
Oleh karena itu Gubernur mengajak masyarakat perani tambak  untuk menjaga keunggulan udang windu.  "Pinrang ini adalah salah satu dari dulu sampai sekarang sebagai penghasil udang windu  ada satu hal yang kita jaga jangan sampai petani kita meninggalkan udang windu dan beralih ke vaname. Kita tahu vaname ini sumbernya dari mana, sementara itu windu dari nenek moyang kita sudah mengembangkannya. Udang windu memiliki banyak keunggulan dari vaname. Selain harga jual lebih mahal karena diproduksi secara alami juga rasa dan aromanya lebih khas dari vaname," kata Nurdin Abdullah.
Bupati Pinrang, Irwan Hamid, menyebut bahwa udang windu adalah komoditas unggulan selain rumput laut dan  beras. Pinrang memiliki luas areal tambak 15.026,20 hekatere dan 1.588,33 hektare ada di kecamatan Lanrisang meliputi dua blok pengembangan, yakni blok Lanrisang 523,23 hektare dan blok Waetuoe seluas 1.065,15 hektare."Kawasan ini memproduksi udang windu ramah lingkungan dengan kualitas premium yang diekspor ke Jepang," kata bupati. Udang windu Pinrang sangat diminati di Jepang. Selama ini PT Atina yang melakukan ekspor udang windu Pinrang ke Jepang.
Pokdakan Salopokkoe salah satu kelompok petambak di desa Waetuoe konsisten mengembangkan budidaya udang windu secara tradisional sejak tahun 1970-an. Ada sekitar 100 hektar tambak di hamparan Salopokkoe ditebari benur udang windu yang dibudidayakan oleh 20 orang petambak secara polikultur dengan ikan bandeng.Â
Budidaya udang windu polikultur bandeng secara tradisional tidak menggunakan bahan kimia dan pakan buatan. "Sejak tahun 1970-an kami disini mengandalkan phronima sebagai makanan alami udang windu dan ikan bandeng," ungkap H. Nasrun Djunaid, salah seorang tokoh petambak di desa Waetueoe kecamatan Lanrisang. Ia mengatakan, budidaya udang windu secara tradisional sudah turun-temurun dilakukan sebagai warisan dari nenek dan orang tuanya.
Gubernur Sulsel telah mencatat permasalahan yang dialami petambak seperti yang diungkap oleh ketua Komunitas Pemerhati Udang Windu (Kontinu) Indonesia, Syarifuddin Zain dan ketua Pokdakan Cempae, Abdul Waris Mawardi,SE adalah masalah muara saluran yang mendangkal dan kualitas benur yang rendah. Untuk mengatasi muara saluran tambak yang mendangkal, pememerintah akan membantu dua unit eksavator jenis amphibi.Â
Sedangkan masalah kelangkaan benur udang windu, Gubernur mengatakan  perlu mendirikan pembenihan udang untuk memenuhi kebutuhan benur udang windu berkualitas di Pinrang. Jika produksi udang windu melimpah maka PT Atina pembelinya untuk ekspor ke Jepang. Demikian juga industri prosesingnya perlu dibangun agar tercipta lapangan kerja baru. Demikian juga sarana jalan yang menghubungkan jalan kecamatan menuju desa Waetuoe akan diaspal. " Nah, ini tadi kalau jalan bagus pasti daya saing kita juga naik. Bagi saya apapun, pemerintah provinsi siap support yang penting kita kembalikan kejayaan udang windu," kata Gubernur.