Mohon tunggu...
Abdul Muis Karim
Abdul Muis Karim Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Lahir di Makassar. Tinggal di Bekasi. Suka baca buku dan travelling.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Warna Hujan: Ibu, Kerbau, dan Paris

2 Februari 2016   05:58 Diperbarui: 2 Februari 2016   23:21 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - kerbau (kfk.kompas.com/Hendra T)

Setiap hujan seperti ini, aku selalu teringat ibu. Aku paham betul kalimatnya setiap kali meminta agar kandang kerbau terkunci, “Itu untuk nikahan daengmu (kakakmu) suatu hari nanti, Kimbo.” Setelah melontarkan kalimat itu, aku lalu bergerak ke kandang kerbau belakang rumah, memayungi kepala dengan tempayang dan menerangi anak tangga belakang rumah dengan lampu teplok. Sebelum menuju tempat tidur, aku selalu memastikan agar keempat kerbau itu di tempatnya. Aman di dalam kandang itu. Aku tak pernah lengah, sampai hari ini pun. Kalaupun aku mengendus malam-malam di balik gemuruh hujan untuk memastikan kondisi kandang kerbau itu, bukan berarti sore tadi aku lengah. Tidak sama sekali, aku hanya melakukan perintah Ibu.

Setelah balik dari kandang, suara ibu sudah lenyap ditelan lelap. Aku bisa saja menyimpulkan bahwa Ibu telah tertidur, tapi nyatanya tidaklah demikian. Ibu tidur dalam kegelisahan. Tidurnya seperti marinir yang sedang menunggui musuh. Kegelisahan akan kerbau-kerbau itulah penyebabnya. Kerbau adalah harta tertinggi bagi masyarakat kami kala itu. Kerbau akan dijual untuk hajatan akbar, misalnya untuk pernikahan.

Bagi Ibu, tiadalah harta yang paling diandalkannya selain keempat kerbau itu jika suatu hari nanti abangku hendak menikah. Siapa pun tahu bahwa menikah dalam kultur Makassar berarti melebur sebagian harta warisan, diuangkan untuk dijadikan uang panaik (uang permintaan pihak perempuan kepada pihak laki-laki). Sekalipun uang panaik memang disepakati kedua belah pihak, pembicaraan nominalnya sebenarnya cukup alot sampai mufakat. Walaupun demikian, tidak ada pihak laki-laki yang mau menanggung malu tidak menikah hanya gara-gara menahan diri melepas harta yang sebenarnya bisa dipaksakan.

Dari dulu, omongan orang memang kadang menyetir keputusan kita. Tapi Ibu menolak dikatakan ikut-ikutan. Menurutnya, memang tidak ada harta yang bisa diandalkannya selain kerbau-kerbau itu. Tidak ada. Beberapa hari ini, Ruppa, suami dari bibiku (paman) sering kali menawarkan ingin membeli karena pesanan seseorang, tapi Ibu bersikeras menolak. “Untuk apa dijual sekarang, Daeng Ruppa. Keponakanmu belum benar-benar membutuhkannya,” tegas Ibu.

“Tapi harganya sedang bagus, Minallah,” balas Ruppa mencoba menggoyahkan pertahanan Ibu.

Oh, hujan dan kerbau itu. Jika suara hujan lebih deras dari suara derap kaki, di sanalah Ibu lebih khawatir. Ibu khawatir akan paellak (pencuri). Di masa itu, paellak sedang ramai-ramainya. Paellak juga memiliki ilmu kebal dan ilmu meringankan badan, sampai-sampai kerbau curian yang dituntunnya terasa hanya seperti kapas. Mereka sesama orang miskin, namun tega mencuri rakyat miskin pula. Bahkan paellak kadang berpantun ke pemilik ternak yang sedang terjaga sebelum mengambilnya ke kandang. Mereka berbalas pantun dalam gelap dan setelah itu benar-benar terjadi pertumpahan darah.

Pemilik: Wahai Saudara, apa sebenarnya yang kalian inginkan?

Paellak: Saya mau mengambil kerbau-kerbau itu.

Pemilik: Bagaimana mungkin kalian mengambilnya, sedangkan saya memeliharanya bertahun-tahun?

Paellak: Justru itulah, kami mau mengambilnya karena kalian sudah memilikinya bertahun-tahun. Sekarang, giliran kami yang akan memilikinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun