Antara SIPAT dan STPT: Nasib Akupunktur Terapis dalam Sistem Digital yang Tak Seragam
Oleh: Abdul Malik
Beberapa waktu lalu, saya mengurus perizinan Surat Izin Praktik Akupunktur Praktik (SIPAT) kedua di Dinas Kesehatan sebuah kota besar di Sumatera. Sebagai akupunktur terapis yang sudah memiliki SIPAT pertama, sesuai aturan dari Konsil Kesehatan Indonesia (KKI), saya hanya perlu melampirkan tiga dokumen: salinan STR, SIPAT pertama, dan surat pernyataan memiliki tempat praktik (Surat Edaran No. HK.02.01/MENKES/6/2024 tentang Penyelenggaraan Perizinan bagi tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Pasca Terbitnya Undang-undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan).
Tapi yang terjadi sungguh di luar dugaan. Petugas di loket justru menyodorkan daftar persyaratan pengajuan STPT---Surat Terdaftar Pengobat Tradisional---dan memperlakukan saya seolah sedang mengajukan izin praktik untuk pertama kali. Saya harus mengulang proses panjang, dari surat keterangan sehat, pelatihan, sampai surat rekomendasi, padahal status profesi saya sudah jelas: tenaga kesehatan yang sudah masuk ke rumpun keterapian fisik, bukan sekadar pengobat tradisional.
Saya bukan satu-satunya. Banyak rekan sejawat akupunktur terapis di berbagai daerah mengalami hal serupa. Padahal kami telah menempuh pendidikan formal, menjalani uji kompetensi, dan memiliki legitimasi dari organisasi profesi. Tapi di mata sistem pelayanan publik, kami seperti belum diakui secara utuh.
Ketika Digitalisasi Tak Menjamin Standar
Di era Mal Pelayanan Publik (MPP) Digital, harapannya semua prosedur perizinan menjadi lebih sederhana, cepat, dan seragam. Tapi pada praktiknya, sistem digital justru memperlihatkan ketimpangan besar antar daerah, terutama untuk profesi yang berada di batas antara medis dan tradisional seperti akupunktur terapis.
Sebagian daerah sudah memiliki menu khusus untuk pengajuan SIPAT secara daring. Tapi sebagian lain masih menyamakan akupunktur dengan pengobatan tradisional umum, dan memasukkannya ke dalam jalur STPT, yang secara hukum sebenarnya tidak lagi relevan bagi profesi kami.
Inilah yang menjadi persoalan utama: tidak ada standardisasi nasional yang benar-benar dijalankan dalam sistem digital perizinan tenaga kesehatan.
"Digitalisasi tanpa pembenahan data dan nomenklatur hanya akan mempercepat kebingungan," begitu yang sering saya sampaikan dalam berbagai forum diskusi.
Regulasi Sudah Jelas, Pelaksanaan yang Belum
Secara regulasi, tidak ada yang abu-abu. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 34 Tahun 2018, serta penegasan dari KKI, akupunktur terapis adalah tenaga kesehatan resmi, setara dengan perawat, fisioterapis, dan tenaga kesehatan lainnya. Maka perizinannya pun berbentuk SIPAT, bukan STPT.