Di pagi yang masih basah oleh embun pada 24 September 2025, ketika sinar pertama matahari membelai hamparan padi, alam seakan mengingatkan kita pada satu kebenaran sederhana: bangsa yang kuat adalah bangsa yang mampu memberi makan rakyatnya dengan tangannya sendiri. Namun kegagahan visual sawah yang hijau sering menutupi masalah yang jauh lebih rumit---masalah yang tidak dapat diselesaikan dengan pupuk atau benih unggul semata, yaitu masalah pencatatan, akuntabilitas, dan keadilan ekonomi bagi petani. Banyak petani tidak mengetahui dengan pasti apakah musim itu mereka benar-benar untung; banyak koperasi belum memiliki laporan yang rapi; dan sejumlah bantuan serta subsidi kerap tersapu oleh celah administrasi. Di tengah lanskap itulah gagasan "Hijau Sawah, Adil Laporan" mengambil tempat: bukan sekadar slogan, melainkan seruan untuk menjadikan Islamic Accounting (akuntansi syariah) sebagai pilar tata kelola yang mampu mengangkat kesejahteraan petani Indonesia.
Jumlah petani pengguna lahan yang sangat besar menunjukkan betapa krusialnya perbaikan ini. Hasil Sensus Pertanian 2023 mencatat ada sekitar 27,8 juta petani pengguna lahan di Indonesia, fakta yang menggarisbawahi skala tantangan sekaligus peluang transformasi di level akar rumput. Dengan lebih dari puluhan juta aktor ekonomi kecil ini, sebuah kekeliruan pencatatan atau kebocoran di rantai nilai bisa berimplikasi luas terhadap ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan pedesaan. Sementara pemerintah memutar banyak kebijakan untuk menjaga pasokan dan menstabilkan harga, ketiadaan laporan produksi yang handal di tingkat petani membuat kebijakan seringkali reaktif daripada preventif. Produksi padi nasional pada 2024 tercatat 53,14 juta ton gabah kering giling (GKG), sedikit menurun dibanding tahun sebelumnya, yang menandakan bahwa ketersediaan bahan pangan memang wajar untuk menjadi perhatian kebijakan.
Islamic Accounting menghadirkan dua dimensi penting yang sangat relevan bagi pertanian: teknis pencatatan yang benar dan etika distribusi yang adil. Secara teknis, akuntansi yang rapi memungkinkan petani dan koperasi untuk mengetahui biaya pasti (pupuk, benih, upah), hasil yang sebenarnya, dan margin keuntungan. Secara etis, prinsip syariah---amanah (kepercayaan), keadilan, larangan riba, dan tanggung jawab sosial---mendorong pengungkapan transaksi yang jujur, pembagian hasil yang adil, serta alokasi zakat dan dana sosial yang transparan. Ini bukan sekadar retorika; ayat-ayat Al-Qur'an mengingatkan pentingnya pencatatan dan keadilan. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 282 Allah memerintahkan agar transaksi dicatat sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Dalam Surah An-Nisa ayat 58 ditegaskan kewajiban menyampaikan amanah kepada yang berhak. Menjadikan prinsip-prinsip ini sebagai dasar pencatatan usaha tani mengangkat dimensi moral sekaligus praktis bagi tata kelola agraria.
Ada pula argumen ekonomi yang kuat: permintaan pembiayaan syariah tumbuh, namun penyalurannya seringkali terhambat oleh ketiadaan laporan yang dapat diverifikasi. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah yang signifikan. Pada September 2024 pembiayaan syariah tercatat tumbuh 11,40% year-on-year, mencapai sekitar Rp628,46 triliun. Angka ini menunjukkan modal yang tersedia di sektor syariah cukup besar untuk digerakkan ke sektor produktif jika syarat kelayakan dipenuhi. Jika petani atau koperasi dapat menyajikan laporan produksi sederhana namun kredibel berdasarkan prinsip Islamic Accounting, peluang akses pembiayaan ini dapat dimanfaatkan untuk modal kerja, investasi alat, atau mekanisasi ringan---semua dengan mekanisme pembiayaan sesuai syariah (mudharabah, musyarakah, ijarah) yang tidak membebani dengan bunga.
Namun transformasi ini tidak otomatis. Pertanian Indonesia masih bergulir dalam banyak kelemahan struktural: konsentrasi lahan pada unit usaha kecil (lebih dari 16 juta rumah tangga petani menguasai lahan di bawah 1 hektar), rendahnya literasi keuangan di pedesaan, dan infrastruktur digital yang belum merata. Di samping itu, fluktuasi iklim dan pasar semakin menambah beban ketidakpastian. Serangkaian gangguan iklim pada 2023--2024 memberi pelajaran betapa rapuhnya produktivitas bila tidak diiringi pencatatan yang baik. Ketika data produksi di tingkat petani tumpang tindih, perencanaan jangka menengah dan penentuan kebijakan cadangan menjadi sulit. Akibatnya, kita pun sering terjebak dalam keputusan improvisasi seperti impor dalam jumlah besar ketika data internal tidak cukup untuk perencanaan.
Perubahan psikologis juga diperlukan: petani harus melihat pencatatan sebagai alat pembebasan ekonomi, bukan birokrasi yang merepotkan. Di sinilah Islamic Accounting memberi nilai tambah, karena formatnya bukan sekadar akuntansi teknis, melainkan membawa ruh syariah yang memberi makna religius. Pencatatan menjadi bagian dari amanah, laporan menjadi bagian dari ibadah, dan keterbukaan menjadi bentuk ketakwaan sosial.
Peran lembaga-lembaga Islam dan zakat dalam konteks ini sangat relevan. BAZNAS dan jaringan lembaga zakat lainnya selama 2024 menunjukkan kapasitas penghimpunan dan penyaluran yang meningkat, dan laporan BAZNAS 2024 memperlihatkan besarnya potensi dana sosial yang dapat diberdayakan untuk pertanian produktif. Namun, masalah klasik tetap sama: tanpa laporan yang akuntabel dari penerima zakat, sulit mengevaluasi dampak program produktif. Islamic Accounting dapat menjadi instrumen penilaian efektivitas bantuan zakat---mengubahnya dari konsumtif menjadi investasi produktif yang dapat dipantau dan diukur.
Tidak kalah penting, transparansi dapat mengurangi kebocoran pada rantai distribusi. Kasus distribusi pupuk bersubsidi yang bermasalah pada 2024 menunjukkan bagaimana alokasi yang tampak tertuju pada petani kecil dapat diselewengkan bila tidak ada mekanisme pelaporan dan verifikasi yang memadai. Ketika laporan yang mencerminkan realitas tidak tersedia, siapa pun yang memiliki akses informasi akan memanfaatkan celah itu. Islamic Accounting---dengan kombinasi catatan keuangan, pengungkapan penggunaan dana, dan audit internal berbasis prinsip syariah---mampu menutup celah tersebut dan meningkatkan akuntabilitas publik.
Mengubah perilaku pencatatan di desa memerlukan strategi praktis yang realistis. Pertama, format pencatatan harus sederhana dan sesuai ritme produksi pertanian: catatan musiman yang mencatat biaya musim tanam, panen, penjualan, dan pembagian hasil. Kedua, metode pencatatan mesti fleksibel: untuk daerah tanpa konektivitas, formulir kertas standar masih wajib; sedangkan untuk wilayah dengan penetrasi ponsel pintar, aplikasi ringan berbasis UI sederhana dapat meningkatkan efisiensi. Ketiga, pelatihan harus berskala dan berulang---melalui program penyuluhan pertanian, koperasi, pesantren, dan universitas. Keempat, insentif perlu disediakan: koperasi yang menerapkan format akuntansi syariah mendapat prioritas akses pembiayaan syariah, subsidi input, atau kemudahan akses pasar.
Transformasi ini juga harus dipandang sebagai ekosistem yang melibatkan banyak pemangku kepentingan: pemerintah pusat dan daerah, Kementerian Pertanian, OJK, IAI (Dewan Standar Akuntansi Syariah), BAZNAS, lembaga keuangan syariah, perguruan tinggi, dan tentu saja para petani serta koperasi. Pemerintah dapat memfasilitasi dengan menerbitkan panduan adaptasi DSAS (Dewan Standar Akuntansi Syariah) untuk sektor agraria---versi "light" yang praktis dan mudah dipahami. OJK dapat mendorong bank syariah mengembangkan produk pembiayaan mikro yang menerima dokumentasi sederhana berbasis standar tersebut. BAZNAS dan LAZ dapat mensyaratkan akuntabilitas berbentuk laporan sederhana bagi program zakat produktif yang mereka biayai. Perguruan tinggi dan pesantren dapat menjadi pusat pelatihan dan penelitian untuk mengadaptasi standar sehingga cocok dengan karakteristik musim dan komoditas lokal.
Di sinilah letak kebaruan gagasan: bukan sekadar menerapkan akuntansi syariah pada bank dan korporasi, tetapi menurunkannya ke level petani kecil --- menjadikan akuntansi syariah instrumen pemberdayaan mikro, yang bukan hanya mengatur pembukuan tetapi juga menjembatani pembiayaan, zakat, dan distribusi keuntungan secara adil. Bila berhasil, dampaknya multi-lapis: petani lebih mampu mengakses modal, data produksi menjadi lebih akurat di tingkat nasional, kebijakan pangan menjadi lebih tepat sasaran, dan kebocoran distribusi dapat diminimalkan. Semua itu berujung pada peningkatan kesejahteraan pedesaan, yang menjadi fondasi stabilitas sosial dan ekonomi.
Gambaran ekonomi makro juga memperkuat argumen ini. Pada triwulan-triwulan tertentu 2024--2025, subsektor pertanian menunjukkan pertumbuhan yang signifikan---menandakan bahwa potensi produksi ada---tetapi paradoksnya, petani di tingkat hulu tidak selalu menikmati kenaikan pendapatan yang sepadan. Ketidakseimbangan margin antara harga di tingkat petani (gabah) dan harga konsumen (beras) menyingkap adanya kebocoran nilai tambah di rantai distribusi. Dengan laporan produksi yang bisa dipercaya, pembuat kebijakan dapat menelusuri titik-titik kebocoran dan merancang intervensi yang lebih tepat---misalnya memperkuat pasar lokal, menyusun cadangan pangan berbasis data real-time, atau merancang skema pembelian pemerintah yang pro-petani.
Praktik pembiayaan syariah memberi peluang konkret jika dipadukan dengan pencatatan yang rapi. Seperti disebutkan, modal syariah di perbankan tumbuh dan tersedia untuk disalurkan; masalahnya adalah kelayakan administrasi di level petani. Produk-produk seperti musyarakah (bagi hasil modal dan pengelolaan) atau murabahah (pembelian barang dengan margin yang transparan) dapat dirancang khusus untuk kebutuhan modal tahun tanam dan panen. Namun agar produk ini bekerja adil, diperlukan basis data yang dapat diverifikasi: neraca sederhana, catatan pembayaran, laporan panen. Islamic Accounting menjadi syarat teknis sekaligus syarat moral agar pembiayaan syariah benar-benar menolong bukan memiskinkan.
Peran zakat produktif juga layak mendapat perhatian. Data BAZNAS 2024 menunjukkan pengumpulan dan penyaluran zakat yang meningkat; kalau dialihkan sebagian ke program produktif yang dilengkapi akuntansi syariah, potensi pengentasan kemiskinan pedesaan akan lebih terukur dan berkelanjutan. Zakat yang ditanam sebagai modal usaha dengan laporan yang benar bisa tumbuh, menambah kapasitas produksi, dan memberi efek berganda pada perekonomian lokal. Tanpa catatan yang robust, zakat tetap jadi kebaikan sesaat; dengan catatan, zakat menjadi investasi sosial yang bisa dipertanggungjawabkan.
Kita juga harus realistis mengenai kendala: resistensi budaya terhadap pencatatan, biaya implementasi pelatihan, dan kebutuhan adaptor teknis yang mengubah standar DSAS menjadi format lapangan yang ringan. Untuk mengatasi resistensi budaya, selain training teknis perlu pendekatan nilai---menunjukkan bahwa pencatatan bukan sekadar administrasi, melainkan wujud amanah dan bentuk ibadah sosial yang memuliakan petani. Untuk masalah biaya, skema berbagi biaya antara pemerintah, donor, dan lembaga zakat dapat dirancang; bukti awal dari koperasi yang berhasil dapat digunakan sebagai pilot agar investor dan bank yakin.
Contoh konkret pilot project dapat menjadi jalan cepat. Misalnya, sebuah koperasi tani di satu kabupaten dengan 1.200 anggota bisa dijadikan lokasi uji: penerapan buku kas syariah sederhana, pelatihan tiga bulan untuk bendahara, integrasi dengan aplikasi mobile untuk pencatatan panen, serta pengujian akses pembiayaan musyarakah dari bank syariah lokal. Dalam satu musim panen, koperasi tersebut akan menghasilkan laporan yang dapat diaudit secara internal; keberhasilan kecil seperti peningkatan pendapatan rata-rata anggota atau penurunan biaya pembiayaan dapat menjadi bukti empiris untuk skala besar.
Secara normatif, implementasi ini juga sejalan dengan ajaran Ilahi. Surah Al-Baqarah 282 menegaskan pentingnya pencatatan, dan Surah Al-Muthaffifin memperingatkan mereka yang curang dalam ukuran dan timbang. Islamic Accounting bukan sekadar teknik; ia adalah pengaplikasian prinsip-prinsip moral ini dalam kehidupan ekonomi sehari-hari, sehingga aktor paling rentan---petani kecil---mendapat perlindungan melalui transparansi. Ketika laporan menjadi jujur, hak akan didapat; ketika zakat dilaporkan, manfaat akan terukur; ketika pembiayaan berbasis syariah didasarkan pada data, modal akan sampai kepada yang benar-benar produktif.
Hari Tani 24 September 2025 harus menjadi momentum perubahan---bukan hanya seremonial, tetapi aksi sistemik. Pemerintah pusat dan daerah perlu membuat peta jalan implementasi Islamic Accounting untuk agraria: pembuatan modul pelatihan, pembiayaan untuk pilot project, insentif bagi koperasi yang patuh, serta integrasi dengan sistem statistik pertanian nasional. Lembaga profesi akuntan syariah dan universitas berkewajiban merancang kurikulum dan sertifikasi lapangan, sedangkan lembaga zakat harus menerapkan kebijakan penyaluran berbasis laporan yang dapat dipertanggungjawabkan. Semua pihak harus sepakat: data itu ibarat sawah kedua---tanpa data sehat, panen kebijakan akan gagal.
Akhirnya, gagasan besar ini sederhana namun mendasar: hijau sawah tidak cukup; hijau laporan juga mesti diwujudkan. Kesejahteraan petani tidak hanya soal menaikkan harga di pasar; itu juga soal memastikan setiap langkah produksi, setiap rupiah pembiayaan, dan setiap bantuan sosial tercatat, dianalisis, dan diperbaiki. Islamic Accounting menawarkan jembatan antara doa di sawah dan angka di laporan---antara etika agama dan realitas ekonomi. Jika kita serius menjadikan pertanian landasan ketahanan nasional, maka dimulainya transformasi akuntansi pertanian adalah kewajiban moral dan strategis.
Mari, pada Hari Tani ini, bukan hanya memberi pujian kepada mereka yang membajak dan menanam, tetapi juga memberi mereka alat dan hak untuk mencatat, menuntut, dan memperoleh bagian yang adil dari nilai yang mereka hasilkan. Dengan begitu, Indonesia tidak hanya sekadar menambah tonase produksi, tetapi menumbuhkan kesejahteraan yang hakiki: adil, terdokumentasi, dan diberkahi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI