Mohon tunggu...
Abdullah Muhammad Saman
Abdullah Muhammad Saman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam | Universitas Islam Sunan Gunung Djati Bandung

Seorang mahasiswa Universitas Islam Negeri yang baru belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ke Ummi-an Nabi Muhammad dalam Buku Sirah Nabawiyah karya Ajid Thohir

16 Juni 2023   13:48 Diperbarui: 16 Juni 2023   13:55 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kaligrafi Nama Nabi Muhammad. Foto ShutterstockSafevector

Pertanyaan mengenai "apakah Nabi Muhammad ummi?" merupakan pertanyaan yang hingga kini dalam beberapa kondisi atau waktu acapkali dilontarkan. Di satu sisi sebagai umat Islam memang sudah menjadi keharusan dalam mengenal sosok Nabi Muhammad selain sebagai penuntun umat dan juga sebagai sosok suri teladan.

Buku Sirah Nabawiyah: Nabi Muhammad Saw dalam Kajian Ilmu Sosial-Humaniora karya Ajid Thohir ini dipilih bukan tanpa alasan. Pembahasan mengenai ke ummi-an Nabi Muhammad yang dijelaskan di dalam buku ini sangat komprehensif. Selain menggunakan perspektif Al-Qur'an, hadis, ahli tafsir, maupun tokoh ahli, di dalam buku ini juga menghadirkan pendapat para orientalis.

Ajid Thohir selaku penulis buku Sirah Nabawiyah: Nabi Muhammad Saw dalam Kajian Ilmu Sosial-Humaniora merupakan penulis yang memang memiliki latar belakang akademik sebagai seorang sejarawan yang spesialisasinya dalam hal studi masyarakat kawasan. Selain itu, secara karier, Ajid Thohir kini telah menjadi guru besar sekaligus menjadi dosen di Pascasarjana Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati, Bandung.

Berkaitan dengan pengertian ummi, terdapat tiga pengertian dari perspektif yang berbeda, yakni:

1. Tidak berpendidikan dan asing terhadap tulisan


Pengertian ini didapat dari Qs. Al-A'raf/7:157-158 dan Qs Al-'Ankabut/29:48 yang memiliki arti: Engkau (Nabi Muhammad) tidak pernah membaca suatu kitab pun sebelumnya (Al-Qur'an) dan tidak (pula) menuliskannya dengan tangan kananmu. Sekiranya (engkau pernah membaca dan menulis,) niscaya orang-orang yang mengingkarinya ragu (bahwa ia dari Allah)." Serta terdapat juga dalam hadis riwayat Ibnu Umar di dalam Sahih Bukhari yang menjelaskan mengenai ke ummi-an nabi yang tidak bisa membaca dan menulis.

Kebanyakan ahli tafsir lebih condong ke pengertian ini, di sisi lain ummi dapat diartikan juga sebagai orang yang dari lahir tidak mengenal karya tulis, pengetahuan manusia, dan buta huruf.

2. Penduduk Umm al-Qura

Pengertian ini didapat dari  Qs. Al-An'am/6:92 yang memiliki arti: Ini (Al-Qur'an) adalah kitab suci yang telah Kami turunkan lagi diberkahi yang membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar engkau memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Makkah) dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Orang-orang yang beriman pada (kehidupan) akhirat (tentu) beriman padanya (Al-Qur'an) dan mereka selalu memelihara salatnya.

Meskipun kata Umm al-Qura sebenarnya tidak dikhususkan untuk Makkah, lebih tepatnya kata Umm al-Qura digunakan di dalam Al-Qur'an sebagai penyebutan terhadap "pusat perkampungan."

3. Orang Arab penganut politeisme yang bukan pengikut Al-Kitab

Banyak ahli tafsir terkemuka seperti Abdullah bin Abbas, az-Zamaksyari, Fakhrurrazi, serta Abu Ubaidah yang berangkat dari Qs. Al-Baqarah/2:75 yang mengikuti pendapat ini. Mereka mendasari pengertian ini karena penganut politeisme Arab tidak bisa baca tulis dan tidak mengikuti kitab suci.

Pendapat ulama dan orientalis terhadap ke ummi-an nabi:

Al-Qurthubi menafsirkan kata ummiyyun dalam surah Al-Jumu'ah ayat 2 sebagai orang yang tidak bisa menulis. Dasar dari pemikian al-Qurthubi ialah karena sejarah orang-orang Arab yang berasal dari Hijaz kebanyakan dari mereka butuh huruf. Apabila ada yang memiliki kemampuan membaca pastinya akan terkenal di kalangan masyarakat kala itu. Sedangkan Ibnu Katsir menafsirkan surah Al-'Ankabut ayat 48 bahwa Nabi Muhammad sebelum datang dengan Al-Qur'an memang tidak bisa membaca dan menulis, bahkan umat Muslim kala itu tahu bahwa nabi tidak bisa membaca dan menulis.

William James Durant di dalam karyanya yang berjudul History of Civilization mengatakan bahwa tidak ada sebuah riwayat yang ingin mengajari nabi untuk membaca dan menulis. Seni baca tulis kala itu tidaklah penting, oleh karena itu pada saat itu tidak lebih 17 orang Quraisy saja yang bisa baca tulis. Tidak ada riwayat yang menyatakan mengenai Nabi Muhammad bisa menulis setelah diangkat menjadi rasul karena ia memiliki juru tulis pribadi. Di sisi lain, nabi juga suka menyuruh juru tulisnya tersebut untuk membacakan buku-buku Arab. Terlepas dari itu semua, Nabi Muhammad memiliki pengetahuan dan menguasai berbagai hal lebih baik ketimbang orang yang berpendidikan.

Perdebatan ke ummi-an nabi di kalangan umat Islam

1. Nabi  Muhammad bisa membaca dan menulis

Dr. Abdul Lathif memiliki beberapa argumen mengenai Nabi Muhammad bisa membaca dan menulis salah satunya, ia beranggapan bahwa banyak yang salah mengartikan kata ummi. Selain itu, ia juga beranggapan bahwa salah satu tugas nabi ialah membimbing umatnya sehingga aspek dasar dalam membimbing seperti kemampuan menulis atau membaca tentulah bisa dilakukan oleh Nabi Muhammad.

2. Nabi Muhammad tidak bisa membaca dan menulis

Murtadha Murthahari membantah pernyataan Dr. Abdul Latif atas tiga argumen berikut ini bahwa dari aspek sejarah jelas bagaimana kondisi Makkah sebelum Islam, sehingga dapat dipastikan nabi memang bukan seorang terpelajar; di dalam Qs. Al-'Ankabut/29:48 dijelaskan dengan gamblang mengenai kondisi nabi yang memang tidak pernah membaca maupun menulis; para ahli tafsir dan cedekiawan Islam sepakat bahwa nabi tidak pernah mengenyam pendidikan dan asing terhadap kegiatan membaca dan menulis sebelum masa kenabiannya.

Atas beberapa perbincangan di atas dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad memang tidak bisa membaca dan menulis, namun hal ini terjadi hanya sampai pada masa sebelum kenabian. Di satu sisi juga bukanlah tidak mungkin apabila Allah memberikan pengetahuan langsung kepada Nabi Muhammad. Hal ini didasarkan kepada perilaku nabi yang suka membuat dan menyetempel surat-surat dari raja-raja sekitar Makkah.

Sumber:

Thohir, Ajid. Sirah Nabawiyah: Nabi Muhammad Saw Dalam Kajian Ilmu Sosial-Humaniora. Cet. 1. Bandung: Penerbit Marja, 2014. (Hal. 156-167)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun