Setelah membaca berita tentang ucapan Menteri keuangan tentang tuntuan "17+8" beberapa waktu yang lalu, seketika saya tergerak untuk menulis artikel ini karena teringat salah satu pesan Al-Qur'an dalam surat al-Ahzab ayat 70 yang sering kami bacakan di mimbar-mimbar jum'at.
Tragedi Salah Ucap
Di tengah kerasnya tekanan ekonomi mulai dari badai PHK di berbagai sektor industri hingga daya beli masyarakat yang terus menurun ucapan pejabat publik menjadi sorotan tajam. Bagi rakyat yang sedang menghadapi kesulitan, kata-kata pejabat bukan sekadar bunyi, melainkan bisa menjadi sumber harapan atau luka baru. Sayangnya, dalam beberapa waktu terakhir publik justru digegerkan oleh fenomena "ceplas ceplos" para elite negeri atau tragedi "salah ucap" jika ingin menyebutnya dengan lebih sopan.
Kasus paling mencolok terjadi pada Ahmad Sahroni, Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi NasDem. Ucapannya yang dianggap meremehkan massa protes memicu kemarahan luas dan berujung pada pencopotannya dari posisi pimpinan komisi. Tak lama berselang, Ketua DPR RI menyampaikan permintaan maaf publik sembari berjanji melakukan evaluasi internal. Belum reda kasus Sahroni, publik kembali tersentak oleh ucapan Nafa Urbach, anggota DPR RI yang juga menjabat Bendahara Komisi IX. Dalam video siaran langsung (Live), ia menyebut tunjangan rumah sebesar Rp 50 juta bukanlah kenaikan, melainkan kompensasi atas rumah jabatan yang dikembalikan ke pemerintah. Pernyataan ini ditambah dengan alasan bahwa "gak semuanya punya rumah di Jakarta," yang segera menuai kecaman luas sebagai bentuk ketidakpekaan terhadap kondisi ekonomi rakyat. Ujungnya, Nafa Urbach diberhentikan sementara dari keanggotaannya di DPR.
Gelombang ketersinggungan publik berlanjut ketika Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang baru saja dilantik beberapa waktu yang lalu menyebut tuntutan "17+8" yang mewakili suara demonstran hanya sebagai aspirasi "sebagian kecil rakyat". Pernyataan itu segera dikecam sebagai bentuk pengucilan aspirasi masyarakat di tengah kondisi ekonomi sulit. Meski kemudian ia meminta maaf, ucapan tersebut sudah telanjur meninggalkan jejak buruk dalam ingatan publik.
Semua ini terjadi bersamaan dengan kabar PHK di berbagai sektor industri. Laporan resmi mencatat lebih dari 42.000 pekerja terdampak hingga pertengahan 2025. Isu semakin panas ketika muncul kabar PHK massal di industri rokok besar, yang meski dibantah manajemen tetap memicu keresahan. Dalam atmosfer ketidakpastian seperti ini, masyarakat membutuhkan ucapan yang menenangkan, jujur, dan memberi arah bukan kalimat yang terasa meremehkan penderitaan mereka.
Makna Qaulan Sadidan
Di sinilah relevan mengingat kembali pesan Al-Qur'an tentang qaulan sadidan. Ungkapan ini hanya muncul dua kali yaitu dalam surah an-Nisa ayat 9 dan al-Ahzab ayat 70.
Dalam surah an-Nisa, konteksnya adalah wasiat harta dan nasib anak-anak yatim. Allah memperingatkan agar orang-orang takut meninggalkan generasi lemah, lalu diperintahkan untuk bertakwa dan mengucapkan qaulan sadidan. Para mufasir seperti Baghawi menafsirkannya sebagai ucapan yang adil dan tepat. Quraish Shihab dalam Al-Misbah menekankan dimensi bahasanya yaitu akar kata sadda berarti meruntuhkan sesuatu lalu memperbaikinya. Artinya, perkataan yang sadid tidak sekadar benar, tapi juga konsisten dan tepat sasaran seperti kritik yang bukan hanya membongkar kelemahan, tetapi sekaligus menawarkan perbaikan.
Sementara dalam surah al-Ahzab, perintahnya lebih umum bahwa orang beriman diperintahkan bertakwa dan mengucapkan perkataan yang sadid. Ibn Katsir menjelaskan bahwa itu berarti ucapan lurus, tanpa bengkok dan tanpa penyimpangan. Ada yang menafsirkannya sebagai kalimat tauhid la ilaha illa Allah, ada pula yang memaknainya sebagai kejujuran. Baghawi mengutip pandangan sahabat dan tabi'in diantaranya; Ibn Abbas menyebutnya ucapan yang tepat, Qatadah menyebut adil, Hasan al-Bashri menyebut jujur. Semua bermuara pada kelurusan dan kebenaran.
Al-Misbah memberi tambahan penting bahwa ucapan yang sadid meskipun keras, tetap harus memperbaiki. Kritik boleh pedas, tapi tidak boleh meninggalkan luka tanpa solusi. Thahir Ibn 'Ashur bahkan menegaskan bahwa kata qawl adalah pintu luas bagi kebajikan maupun keburukan. Rasulullah sudah mengingatkan: "Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam."
Al-Munjid fi al-Lughah menyederhanakan makna sadid ke dalam tiga dimensi: ucapan yang tepat sasaran, lurus dan konsisten, serta berorientasi pada kebenaran. Inilah fondasi moral lisan yang diajarkan Al-Qur'an.
Lisan Elite dan Luka Publik
Jika ditarik ke realitas hari ini, standar qaulan sadidan terasa jauh dari perilaku lisan sebagian elite negeri. Ucapan yang seharusnya menenangkan, justru menimbulkan kegaduhan. Lisan yang seharusnya menjadi alat penerang malah berubah menjadi sumber kebingungan.
Ketika seorang wakil rakyat meremehkan aspirasi masyarakat, ia gagal menghadirkan ucapan yang adil dan tepat sasaran. Saat seorang menteri menyebut tuntutan demonstran sebagai suara sebagian kecil rakyat di tengah badai PHK, ia melupakan makna sadid sebagai ucapan yang menyentuh realitas penderitaan rakyat banyak.
Padahal, qaulan sadidan bukan sekadar larangan berbohong. Ia adalah tuntutan untuk berbicara dengan penuh tanggung jawab, dengan kejujuran yang konstruktif, dengan empati yang menenteramkan. Ucapan yang lurus bukan hanya tidak salah, tetapi juga memberi arah. Ucapan yang benar bukan hanya jujur, tetapi juga membangun kepercayaan dan teapat sasaran.
Penutup
Tragedi salah ucap pejabat bukan sekadar kekeliruan teknis public speaking. Ia adalah gejala lemahnya penghayatan terhadap nilai qaulan sadidan. Padahal, menjaga lisan sama artinya menjaga martabat jabatan, sekaligus menjaga kepercayaan rakyat.
Di tengah situasi ekonomi yang sulit, rakyat tidak menuntut kata-kata manis, tetapi kata-kata yang lurus, jujur, adil, tepat dan memberi arah. Elite negeri semestinya menimbang setiap ucapannya dengan standar qaulan sadidan. Sebab, dari lisannya, rakyat bisa menemukan harapan atau kekecewaan.
Jika perintah Al-Qur'an ini benar-benar dihayati, maka "keceplosan" atau "salah ucap" tidak akan dianggap wajar apalagi remeh. Sebaliknya, setiap ucapan akan dijaga agar tidak melukai, melainkan menuntun. Saat itulah, nilai qaulan sadidan benar-benar hidup dalam ruang publik kita, dan bangsa ini bisa bergerak dengan tutur kata yang jujur, tepat, dan membangun.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI