Mohon tunggu...
Haris Abdullah
Haris Abdullah Mohon Tunggu... -

Penggiat di Pekanan (Kamisan), mentoring, musikalisasi puisi dan TeBu (Teater Embun) Forum Lingkar Pena (FLP) Bandung

Selanjutnya

Tutup

Money

Surat untuk Kang Emil

27 Oktober 2017   07:16 Diperbarui: 27 Oktober 2017   09:02 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Assalamualaikum wr.wb.

Kang Emil, damang? Nuhun upami damang mah, da kaleresan warga RW. 011 di kelurahan Sekejati Kecamatan Buahbatu mah nuju teu damang. Piduana, Kang Emil, mugia warga RW. 011 cing sarehat lahir tur batin.

Supados  raos, langkung sae ieu serat urang lajengkeun ku basa nasional. Da kota Bandung mah tos universal, multi kultural. Geuning tatar pasundan teh sanes kagungan urang Sunda wungkul ayeuna mah. Aya urang Minang, Batak, Betawi, Jawa tur nu sanesna. Aya oge jalmi jarangkung nu warnana bodas ka rambut-rambut, hideung sakujur badan, tur sagala minimalis dugi ka socana. Sanes maksad rasis atanapi sara, Kang Emil. Hapunten.

Baik, Kang Emil. Ini surat bukan sembarang surat. Ini surat membawa suara rakyat. Tidak se-Indonesia, tidak se-Jawa Barat, tidak pula se-Bandung Kota atau se-kecamatan, bahkan tidak juga sekelurahan. Ini sekadar sugunduk Rukun Warga yang terdiri dari tujuh Rukun Tetangga.

Kami tinggal di tengah kota dengan keramaian dan kemewahan sedemikian rupa. Bangunan-bangunan tinggi, gedung-gedung perkantoran dan pabrik, Mall dan perusahaan ada di permukaan kami. Di kanan-kiri serta belakang, ada komplek Margahayu Raya, Kang Aher pasti kenal tempat ini, karena pernah diundang Mall kami, tapi kami sendiri tak tahu kedatangan beliau.

Kami tinggal di tengah kota dengan keramaian dan kemewahan sedemikian rupa. Tapi---sekali lagi---itu sekadar permukaan. Persis seperti buah manggis: hitam di luar tapi putih dan manis di dalam. Sayangnya analogi itu mesti dibalik bila hadir di tempat kami tinggal.

Kang Emil, Anda pemimpin kami. Kami tidak minta uang pada Anda. Kami hanya minta pengetahuan: beri kami rahasia dan kunci sukses untuk mengelola tempat tinggal kami. Kami yakin demikian karena segudang penghargaan telah Anda dapatkan.

Kami ingin tahu, apakah sah warga kami berada dalam ketertinggalan sedangkan tempat tinggal kami berjejer tempat duit berputar?  Apakah pantas pengangguran masih berhamburan padahal baru saja bioskop pertama di Bandung Timur berdiri, sedang ketika kami minta anak-anak kami supaya dipekerjakan di sana mereka hanya berkata, "Bioskop itu sekarang canggih, perlu orang-orang canggih yang bekerja, kami hanya mempekerjakan orang-orang khusus,", orang-orang khusus seperti apa yang mereka maksud, Kang Emil? Beri kami pengetahuan. Apakah kami hanya layak menjadi pelayan di tanah kelahiran kami?

Suatu saat kami pernah mengajukan lapangan pekerjaan di kawasan Mall di tempat kami, 40:60. 40% untuk warga kami dan 60% untuk warga di luar wilayah kami. Toh kalau semua pemuda di tempat kami bekerja, porsi kami pun tak akan diserakahi. Di dunia kerja kasar tak ada rangkap jabatan, Kang Emil. Tapi nyatanya, pemuda kami masih banyak yang menganggur. Baru-baru ini bioskop yang mungkin akan menjadi kebanggaan kami itu telah diresmikan, tapi justru tak bangga ketika kami, putra daerah yang seharusnya dijaga dan dipelihara ada di dalamnya. Potensi pemuda kami mungkin terbatas, tapi tidak tertutup kemungkinan batas itu terlewati. Sayangnya, tak banyak orang yang paham perkara ini.

Kang Emil, kami butuh pengetahuan, sebab pengetahuan akan mengangkat kebutuhan yang lain. Katakanlah finansial. Anekdot mengatakan, "Logika tanpa logistik=radikal!". Kami berupaya untuk mengangkat logika di atas logistik. Tapi realitas jauh dari ekspektasi. Masyarakat butuh uang, dan uang berputar di hadapan kami, tapi kami hanya bisa melihat, sekadar mendengar bahkan cuma merasakan. Bagaimana jadinya kalau perut kelaparan sedangkan di depan kita beberapa orang gendut sedang berebut makanan yang kami sediakan?

Tapi sekali lagi, Kang Emil. Kami butuh pengetahuan. Apakah sah jika kami mengajukan sedikit dana untuk program kemasyarakatan sekadar untuk memenuhi logistik kami yang tak seberapa ini? Teu dileuleungit, Kang Emil, pengelola Mall memberi kami "jatah" 1,5 juta rupiah perbulan. Konon itu cukup untuk wilayah kami. Nyatanya, di tengah-tengah tiga ratusan ruko di sekitar pusat perbelanjaan itu, uang segitu tak bikin jalan kami jadi licin, banjir kala hujan tak bisa dihindari, air di tempat kami tetap saja kuning dan bikin kusam seragam-seragam anak-anak kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun