Mohon tunggu...
Abdul Mutolib
Abdul Mutolib Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan pegiat literasi

Penulis buku teks pembelajaran di beberapa penerbit, pegiat literasi di komunitas KALIMAT

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Apakah Agama Perlu Dimoderasi?

20 Oktober 2020   08:35 Diperbarui: 20 Oktober 2020   08:45 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Balitbang dan Diklat Kemenag RI

Apakah Agama Perlu Dimoderasi? Moderasi beragama terus diarusutamakan oleh pemerintah. Hal ini dilatarbelakangi munculnya permasalahan terorisme, ekstremisme, dan intoleransi yang melibatkan sentimen keberagamaan dua puluh tahun terakhir. 

Kata moderasi sendiri menurut KBBI berasal dari bahasa Latin moderatio yang berarti ke-sedang-an (tidak berlebihan dan tidak kekurangan) 

Apakah agama, khususnya Islam, perlu di-sedang-kan agar tidak berlebihan atau tidak kekurangan? 

Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kita tarik nafas terlebih dahulu, menenangkan pikiran dan mendudukkan persoalan secara pelan agar tidak jatuh pada keterburu-buruan untuk menyimpulkan. 

Sesungguhnya Islam itu ajarannya sudah moderat. Allah Swt dan Rasulullah saw sendiri yang mendeklarasikan Islam sebagai agama moderat dan jalan tengah. Allah Swt berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 

Dan yang demikian itu Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat pertengahan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kalian" (QS  Al Baqarah: 143). 

Dalam hadis Imam Ahmad dari Ibnu Abbas Nabi Muhammad saw ditanya, "Keberagamaan seperti apa yang paling Engkau sukai?" Beliau menjawab, " alhanafiyah as samhah" Para ulama menjelaskan bahwa al hanafiah as sahmah adalah perilaku beragama yang sesuai dengan fitrah, tidak berlebihan dan tidak kekurangan. 

Lebih jauh dari itu, Nabi Muhammad mengingatkan umatnya agar menghindari ekstremisme dalam beragama yang diistilahkan dengan sikap ghuluw (berlebihan) dan tasyaddud (keras). 

Kembali ke istilah moderasi agama, apakah tepat istlah tersebut digunakan setelah mengetahui bahwa Islam itu dari sananya ajarannya sudah moderat? 

Jika yang dimaksud dengan istilah itu adalah perlunya perombakan ajaran agama, maka jelas istilah itu tidak tepat dan agama tidak perlu dimoderasi. Tapi kalau ungkapan itu  yang dimaksudkan adalah sikap dan perilaku beragama, maka itu sebuah bentuk kiasan (kinayah) seperti ungkapan "Kemuliaan itu mengikuti bayangannya." Yang dimaksudkan adalah orang yang memiliki sifat kemuliaan". 

Tapi ada istilah yang lebih clear yaitu "Moderasi Beragama" yang berarti moderasi perilaku menjalankan ajaran agama yang merupakan perwujudan dari keyakinan yang dianut oleh seseorang. 

Moderasi beragama dalam pengertian yang telah dibahas di depan merupakan keniscayaan dalam kebidupan.  Realitas kehidupan sering menempatkan manusia di antara dua kutub yang bersebrangan dan diperlukan sikap seimbang agar tidak jatuh pada  satu sisi yang sama-sama berakibat tidak baik. 

Sejarah kemajuan peradaban Islam juga tidak terlepaas dari sikap moderat generasi terdahulu dengan menerapkan keterbukaan sekaligus ketertutupan terhadap budaya dari luar (baina al infitah wa al inghilaq). Jika umat Islam dahulu tidak terbuka terhadap peradaban Yunani dengan keluatan filsafatnya, maka umat Islam tidak akan mampu mengembangkan ilmu pengetahuan. Tatapi umat tidak mengambil mentah-mentah filsafat Yunani. Mereka mengambil yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. 

Menjauhkan Bias 

Upaya pemerintah untuk mengarusutamakan moderasi beragama banyak dipahami secara bias, baik oleh pihak yang mendukung maupun yang menolaknya.   

Para penolak ide pengarusutamaan moderasi beragama menaruh kecurigaan bahwa gerakan ini hanyalah kedok orang-orang liberal untuk memasarkan pemikiran liberal mereka dalam memahami ajaran agama. Mereka memahami ide ini sebagai " kalimah al haq uriida bihi al baathil" (kata yang benar tapi dimaksudkan darinya kebatilan). 

Sementara di sisi lain ada kelompok yang menjadikan konsep moderasi beragama untuk memukul golongan di luar kelompknya dengan stigmatisasi intoleran dan radikal. 

"Buku putih" moderasi beragama yang dikeluarkan oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian agama RI telah menjelaskan kesalahpahaman ini. Buku yang terbit Oktober 2019 itu menegaskan bahwa sikap moderat bukan sikap kompromi keyakinan teologis beragama dengan pemeluk agama lain. Bersikap moderat bukanlah besikap liberal dan mengabaikan norma-dasar yang sudah jelas dalam agama. Bersikap moderat dalam beragama tidak berarti menggadaikan keyakinan untuk menghargai keyakinan pemeluk agama lain. 

Dengan demikian, diperlukan keadilan sejak dalam pikiran bagi pihak-pihak yang selama ini memahami konsep moderasi beragama secara bias. Pun diperlukan ikhtiar yang lebih dari pemerintah untuk mensosialisasikan konsep moderasi ini secara lebih massif dan lebih tepat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun