Mohon tunggu...
Kakang Semar
Kakang Semar Mohon Tunggu... seorang yang tak mau begitu saja hidup

menulis adalah hidupku

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Rakyat Harus Terus Bergerak: Membaca Ulang Makna Kerakyatan

14 Oktober 2025   00:00 Diperbarui: 13 Oktober 2025   23:57 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jakarta - Bagaimana kabar "rakyat" hari ini? Istilah yang dulu begitu kuat, kini terasa samar, bahkan sering hanya muncul di baliho atau pidato politik. Dalam kuliah terbuka KLIK: RAKYAT yang diselenggarakan di Kebayoran Lama, Jakarta, Senin (13/10/2025), Peneliti Senior pada Klaster Politik Luar Negeri, Pusat Riset Politik BRIN Doktor Irine Hiraswari Gayatri  mengajak hadirin menelusuri kembali makna rakyat, demokrasi, dan perubahan sosial yang terus bergulir.

Irine membuka refleksinya dengan menyinggung perubahan besar yang sedang melanda dunia: globalisasi, teknologi digital, dan tatanan ekonomi baru. Semua bergerak cepat, namun rakyat --- yang seharusnya menjadi subyek utama --- justru kerap tergeser dari pusat perhatian. "Kita hidup di zaman ketika suara rakyat tidak otomatis berarti kuasa rakyat," ujarnya tegas.

Sebagai peneliti politik yang lama bergelut dengan isu demokrasi dan masyarakat sipil, Irine mengingatkan bahwa kerakyatan bukan sekadar jargon. Ia adalah kesadaran kolektif, tempat rakyat menyadari dirinya sebagai pelaku sejarah, bukan sekadar penonton. Namun, dalam praktik politik modern, rakyat sering diperlakukan sebagai massa yang bisa diatur atau digerakkan hanya menjelang pemilu.

Ia menyinggung pula bagaimana teknologi digital menciptakan wajah baru demokrasi. Di satu sisi, media sosial memberi ruang ekspresi, memungkinkan rakyat berbicara langsung tanpa perantara. Tapi di sisi lain, ruang itu juga mudah dimanipulasi --- oleh algoritma, hoaks, dan kepentingan ekonomi-politik global. "Kita perlu mewaspadai demokrasi yang dikendalikan dari balik layar," kata Irine. "Rakyat bisa terlihat hadir, tetapi sebenarnya absen secara politik."

Irine juga mengajak audiens untuk membaca ulang makna kerakyatan dalam konteks sejarah Indonesia. Dari zaman kolonial, rakyat selalu menjadi sumber kekuatan perubahan --- entah dalam perjuangan kemerdekaan, reformasi, maupun perlawanan kultural sehari-hari. Namun tantangannya kini berbeda: bagaimana rakyat tetap solid dan berpikir kritis di tengah fragmentasi digital dan politik uang.

Menurutnya, kerakyatan harus terus dirawat melalui pendidikan kritis, gerakan sosial yang berpihak, serta keberanian untuk melawan ketimpangan. "Kerakyatan bukan romantisme masa lalu," ujarnya. "Ia adalah praksis: cara kita hidup bersama dengan kesadaran akan martabat manusia."

Kuliah yang dihadiri dosen, alumni, dan mahasiswa STF Driyarkara dan beberapa kelompok masyarakat sipil lainnya itu diakhiri dengan dialog hangat tentang bagaimana memulihkan semangat rakyat dalam demokrasi yang kini tampak letih. Dr. Irine menutup dengan ajakan yang kuat: "Kalau kita ingin demokrasi yang bermakna, kembalilah pada rakyat --- bukan sebagai simbol, tetapi sebagai subyek yang berpikir, berjuang, dan berdaulat."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun