Di sebuah pagi
Pada jalan setapak rindu
Menjadi titik temu
Saat rasa tak bisa bertepi
Aku melangkah dengan tenang
Kau berdengung penuh riang
Lantaran kita kembali bertemu
Pada kita yang berjabat tanpa malu
Kau yang kunanti
Telah kembali
Memelukku dengan rasa
Menyiramiku dengan sejuta asa
*Kudeta Cinta*
_____________________
Empat puluh hari, waktu yang lama untuk menanggung sebuah penungguan. Rasa dipisahkan oleh jarak yang tak pernah mengelak. Sedangkan, rindu ikut berkumandang memanggil nama-nama. Memahat ukiran-ukiran cinta yang datang karena bisikan dari bahasa jiwa.
Kita terpisah dari payung kota yang menyimpan segala rasa. Kau menulis semua asa dalam kertas-kertas yang dipupuk dengan air mata. Dan, aku meramu semua kejadian yang kita lalui, biar segala kenangan yang singgah tak mudah hilang dari ingatan.
Setidaknya, keterpisahan kita sebagai sebuah ujian. Bahwa rasa tak mengharuskan kita tetap bersama. Dan, rindu tak mestinya mengarahkan kita untuk terus-terusan bertemu.
Kau ceritakan aku tentang deru-deru dari gejolak rasa yang terjadi. Aku mendengarkan bahasamu yang penuh dengan rayu. Kita seperti dua kutub yang saling berharap. Dan, semua harapan yang terpendam, kini telah menemukan jawaban.
Kau adalah segala tanya yang bernyawa. Sedangkan, aku adalah jawaban-jawaban rasa yang acap kali kau tagih.
Lampu bumi telah menerangi raga. Tubuh disengat tanpa suara menjerit. Kita terus berjalan di atas batu-batu berdebu. Dan, tanganku terus menarik koper merah-hitam yang kau bawah dari tempat pengabdian.
Kuperhatikan dengan tenang, wajahmu ditumbuhi air keringat yang merayu tanganku untuk menyeka, tapi aku belum berani. Karena kita tak mau segala kemesraan jadi tontonan banyak orang.
Mendekati pintu keluar, kau menegur teman-teman sebayamu, aku hanya menyapa lewat senyuman yang kutransfer melalui Androidku. Dan, kau berkata untuk pamit terlebih dahulu.
 Rasanya, kau sedang gembira riang sayang.
Sedangkan aku?
Kediri, 25 Oktober 2020
Buah karya: Abdul Azis Le Putra Marsyah