Pelaksanaan Pemilu Legislatif (Pileg) telah selesai, namun proses penghitungan suara hingga hari ini baru masuk ke tingkat kecamatan dan masih dalam proses rekapitulasi. Pileg selesai bukan berarti kecurangan-kecurangan pileg telah selesai pula. Ancaman manipulasi penghitungan suara oleh oknum calon anggota legislatif (caleg) dengan melibatkan oknum Panitia Pemungutan Suara (PPS) di tingkat desa/kelurahan, oknum Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) bahkan oknum Komisi Pemilihan Umum (KPU) daerah hingga pusatyang dibantu oleh tim sukses masing-masing patut diwasdai mengingat biaya politik yang cukup tinggi akhir-akhir ini.
Petugas Pengawas Lapangan (PPL) desa/kelurahan, Panitia Pengawas Kecamtan (Panwascam) dan Panitia Pengawas Kabupaten/Kota (Panwaskab) harus bekerja ekstra hati-hati, jangan sampai terjebak dalam praktek manipulasi penghitungan suara oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab hanya karena ingin mendapatkan tambahan finansial yang tidak seberapa jika dibandingkan dengan akibat hukum yang bisa diterima jika praktek curang tersebut terendus dan berujung dipidanakan.
Baru saja diberitakan di sebuah stasiun televisi lokal, salah seorang caleg kabupaten dari sebuah parpol di daerah saya dilaporkan oleh sesama caleg dari parpol yang sama, karena yang bersangkutan diduga melakukan manipulasi data dengan mengalihkan suara caleg pelapor ke caleg terlapor yang diduga melibatkan pengurus parpol di tingkat kecamatan dan oknum PPS di beberapa desa di beberapa kecamatan di dapil yang bersangkutan.
Caleg terlapor berdasarkan hitung sementara yang dilakukan oleh timses menduduki peringkat kedua, sementara kolega sesama parpol se-dapil ada yang menggunggulinya hingga tembus pada peringkat pertama perolehan suara. selisih 1.000an suara yang mengakibatkan caleg terlapor ini terancam tidak bisa duduk kembali di kursi dewan mengakibatkan yang bersangkutan “gelap mata” dan menghalalkan segara cara untuk tetap bisa memenangkan pileg yang telah berlalu.
Caleg terlapor diindikasi melakukan manipulasi penghitungan suara dengan melakukan “pencurian” penghilangan/pengurangan suara atas caleg lain se-partai yang jumlahnya lebih kecil dari dirinya dan mengalihkan dirinya sehingga suara yang semula pada peringkat kedua diharapkan bisa bertambah dan diharapkan bisa mengungguli caleg lain yang semula menduduki peringkat pertama perolehan suara. Meskipun caleg yang suaranya dicuri tidak memiliki peluang untuk duduk di kursi dewan, dia tetap saja merasa dirugikan oleh caleg terlapor, sehingga buntutnya dia melaporkan sang pelaku ke panwaskab dan pengurus parpolnya di tingkat kabupaten dengan salah satu tuntutannya untuk dilakukan penghitungan suara ulang.
Jika sebelum pelaksanaan pileg, dengan segala cara para caleg berusaha untuk menarik simpati pemilih, bahkan sejumlah caleg melakukan transaksi jual-beli suara dengan para calon pemilih baik dengan sejumlah uang maupun barang. Ternyata perburuan suara tidak hanya berhenti sampai dengan Tempat Pemungutan Suara (TPS) ditutup secara resmi pada pukul 13.30 waktu setempat pada hari H, melainkan perburuan suara dan praktek jual beli suara berlanjut hingga sebelum KPU/D mengumumkan secara resmi siapa-siapa yang berhak duduk di kursi empuk anggota dewan dengan berbagai macam modus dan cara.
Mencuri Suara Caleg Lain Se-Parpol; Praktek kecurangan pertama paska pileg adalah pencurian suara oleh beberapa oknum caleg yang terancam kalah. Oknum caleg yang terancam kalah biaanya melakukan kecurangan dengan mencuri suara milik salah satu atau bahkan beberapa caleg se-partai yang tidak memiliki peluang untuk menang. Sebagai ilustrasi, caleg nomor 1 memperoleh suara 3.800 (peringkat kedua), caleg nomor 2 memperoleh suara 4.000 (peringkat pertama), caleg nomor 3 dan seterusnya mendapatkan suara di bawah 3.000.
Secara jurdil, maka yang berhak melenggang ke kursi dewan adalah caleg nomor 2, dengan peluang di bawahnya adalah caleg nomor 1. Jika parpol pengusung hanya mendapatkan jatah 1 kursi, maka secara otomatis caleg nomor 2 yang akan melenggang. Dengan selisih yang hanya 200 suara, maka caleg nomor 1 masih punya “peluang” untuk memperbaiki jumlah suaranya untuk menang hingga kisaran angka 4.200, dan itu artinya yang bersangkutan hanya membutuhkan infus 400 suara.
Jika caleg nomor 1 lihai dan punya link yang bagus dengan penyelengara pemilu, maka dia masih bisa menaikkan suaranya sejumlah 400 dengan mencuri suara caleg nomor 3 sampai caleg nomor 6 dengan angka curian per-caleg 100 angka yang tersebar di berbagai desa/kelurahan baik di satu kecamatan ataupun satu dapil yang sekiranya bisa dikondisikan, sehingga caleg nomor 2 yang seharusnya menang bisa mendadak menjadi kalah. Modus seperti ini terjadi pada kasus yang telah dilaporkan di atas, dan bahkan bisa saja pencurian tidak hanya dilakukan kepada caleg yang memiliki peringkat bawah, namun bisa juga caleg dengan peringkat suara terbanyak pun bisa dicuri oleh caleg peringkat kedua.
Mencuri Suara Caleg Lain Dari Parpol Lain; Modus kedua ini serupa dengan modus pertama, hanya saja suara yang dicuri adalah suara caleg dari partai lain yang tidak memiliki peluang untuk menang. Hal ini bisa mulus dilakukan jika ada kongkalikong dengan para penyelenggara pemilu yang tidak amanah.
Membeli Suara Caleg Lain Se-Parpol; Modus ketiga yang tidak kalah mengerikan dan sulit terdeteksi adalah jula beli suara antar sesama caleg se-partai. Caleg dengan perolehan suara peringkat kedua bisa saja membeli suara dari caleg dengan perolehan peringkat bawah untuk memuluskan jalan menuju kursi dewan. Lagi-lagi hal ini juga bisa terjadi apabila ada sejumlah panitia penyelenggara korup yang bersedia mengotak-atik perolehan suara, dan lemahnya pengawasan dari panwas di tiap-tiap tingkatan.