Mohon tunggu...
Abigail Wibisono
Abigail Wibisono Mohon Tunggu... Siswa

Hai, saya Abby! Suka ngulik teknologi dan hal-hal ramah lingkungan. Buat saya, masa depan yang keren itu bukan cuma pintar, tapi juga hijau 🌱

Selanjutnya

Tutup

Nature

Urbanisasi dan Krisis Udara: Siapa yang Bertanggung Jawab?

15 Oktober 2025   13:40 Diperbarui: 15 Oktober 2025   13:40 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kota terus berkembang. Gedung-gedung baru menjulang, kendaraan menumpuk di jalan, dan aktivitas industri tak pernah berhenti. Namun di balik gemerlap pembangunan itu, udara kota perlahan kehilangan kesegarannya. Polusi meningkat, dan kesehatan masyarakat mulai terancam.

Fenomena ini bukan sekadar konsekuensi alami dari kemajuan — tetapi tanda bahwa ada sistem yang perlu diperbaiki. Pertanyaannya: siapa yang seharusnya bertanggung jawab?

Urbanisasi adalah proses perubahan struktur sosial dan ekonomi masyarakat yang ditandai oleh pergeseran pekerjaan dari sektor pertanian ke sektor industri dan jasa. Banyak masyarakat desa yang sebelumnya bekerja di bidang agraris kini beralih menjadi buruh pabrik atau pekerja sektor non-pertanian di kota. Sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian nasional, Jakarta dan Kota sekitarnya menawarkan peluang kerja yang luas dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil DKI Jakarta menunjukkan bahwa pada tahun 2023, populasi Jakarta mencapai sekitar 10 juta jiwa, dengan prediksi penambahan 40.000 pendatang baru pasca-Lebaran. Tren ini terus meningkat dari tahun ke tahun: 113.814 pendatang pada 2020, naik menjadi 139.740 pada 2021, lalu 151.752 pada 2022, dan hampir 200.000 pada 2023.

Pertumbuhan penduduk akibat urbanisasi juga menekan kapasitas lingkungan kota. Semakin banyak manusia, semakin besar pula konsumsi energi, produksi sampah, dan emisi karbon yang dihasilkan.

Menurut data IQAir (2024), beberapa kota besar di Indonesia seperti Tangerang Selatan, Tangerang, dan Cikarang adalah 3 kota dengan kualitas udara terburuk di Asia Tenggara. Kadar PM2.5 — partikel mikroskopis yang bisa masuk ke paru-paru — jauh melampaui ambang batas WHO.

Penyebab utamanya jelas: padatnya kendaraan bermotor, pembangunan yang masif, serta pembakaran limbah yang masih menjadi kebiasaan warga Indonesia. Urbanisasi membawa jutaan orang ke kota, tetapi tanpa perencanaan lingkungan yang matang, kota berubah menjadi sumber polusi besar-besaran.

Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan tren peningkatan polutan selama lima tahun terakhir, terutama di wilayah dengan pertumbuhan penduduk tertinggi.
Kualitas udara buruk berpengaruh langsung terhadap kesehatan, mulai dari batuk kronis hingga peningkatan risiko penyakit jantung dan paru.

Namun, angka-angka ini sering kali hanya muncul di laporan tahunan tanpa menjadi dasar kebijakan publik yang kuat.

Krisis udara bukanlah kesalahan satu pihak. Pemerintah, industri, dan masyarakat — semuanya punya peran.

  • Pemerintah perlu memperketat regulasi emisi dan memperbanyak transportasi publik ramah lingkungan.
  • Industri wajib transparan soal polusi yang mereka hasilkan dan berinvestasi pada teknologi hijau.
  • Kita, masyarakat, juga bertanggung jawab lewat kebiasaan sehari-hari: mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, mendukung transportasi umum, dan menjaga ruang hijau kota.

Menuding satu pihak saja tak menyelesaikan masalah. Kolaborasi dan kesadaran kolektif adalah kunci.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun