Mohon tunggu...
Muhamad Habib Koesnady
Muhamad Habib Koesnady Mohon Tunggu... Guru - Pengajar Teater

Mempelajari Seni

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tidak Ada Teater di Sekolah

5 Mei 2020   04:06 Diperbarui: 5 Mei 2020   04:15 835
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam obrolan yang singkat, saya sempat bertanya pada beliau, mengapa kurikulum tingkat menengah (SMP/SMA) mengakomodir cabang seni teater, tetapi tidak ada kampus pendidikan yang melahirkan pendidik-pendidik teater. 

Seingat saya, jawabannya adalah karena belum ada ahli di bidang tersebut; belum ada setingkat doktor/profesor yang menekuni bidang pendidikan teater. Karena untuk membuka sebuah prodi baru, harus ada beberapa orang ahli setingkat doktor/profesor yang sudah menekuni bidang tersebut.

Teater Sebagai Intrakurikuler

Di sekolah-sekolah umum, teater biasanya hanya ada sebagai ekstrakurikuler. Dibimbing oleh seorang pelatih, di luar jam sekolah dan 'hanya' sebagai pelengkap (baca: hiburan) yang dapat menjadi tempat penyaluran hobi siswa-siswi di sekolah. Karena umumnya sekolah hanya memberikan sedikit saja porsi untuk ekstrakurikuler. Dari segi waktu maupun dari segi finansial. 

Meski begitu, di sisi lain, banyak juga pelatih-pelatih teater yang ngotot mencurahkan segenap energinya untuk serius membangun ekskul teater di sekolah. Merekalah sebetulnya yang sangat berjasa dalam menjaga---bahkan membuat---estafet pengalaman teater bagi pelajar untuk diteruskan di jenjang perguruan tinggi, maupun diteruskan sebagai seniman alam.

Namun, hal itu tidaklah cukup, karena ekstrakurikuler teater di sekolah-sekolah hanyalah tetap dianggap sebagai pelengkap. Ekskul teater yang maju, selalu saja karena energi berlebih pelatihnya, bukan karena dukungan sistem pendidikan. 

Paling-paling yang menyuntikan semangat para pelatih tersebut adalah festival-festival teater remaja/pelajar, yang lagi-lagi diselenggarakan berdasarkan inisiatif kelompok independen. Bukan berasal dari sistem pendidikan. Oleh karena itu, menurut saya, eksistensi teater di ruang kelas; di dalam jam pelajaran; sebagai intrakurikuler, sangat penting adanya sebagai bentuk dukungan sistematis.

Pelajaran Seni Budaya dalam kurikulum sebetulnya memungkinkan teater eksis di dalam intrakurikuler. Namun, masalahnya itu tadi, bahwa tidak ada gurunya. Tidak ada sarjana pendidikan teater. Maka, mata pelajaran Seni Budaya hanya akan diisi oleh Seni Rupa, Musik & Tari. Karena apa? Karena ada gurunya. 

Bukan salah mereka tidak memberikan ruang kepada teater, tetapi karena sistemnya sudah kadung seperti itu. Meski begitu beberapa Sarjana Seni (Teater) juga kebagian mengajar pada mata pelajaran Seni Budaya dan mereka boleh mengajarkan teater. 

Secara formal, mereka memahami teater sebagai seni tanpa mempelajari perspektif pendidikan selama di perguruan tinggi. Meskipun tak menutup kemungkinan setelah mengajar, mereka belajar tentang perspektif pendidikan.

Beda Orientasi Teater di SMA dengan SMK Jurusan Teater

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun