Mohon tunggu...
Abas Basari
Abas Basari Mohon Tunggu... Guru - Guru Biologi SMA Al Masoem

melakukan apa pun yang bisa, kalau boleh orang lain bahagia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nikmat Dini Hari di 17 Agustus 2022, Erat Memeluk Romantis

18 Agustus 2022   17:56 Diperbarui: 18 Agustus 2022   18:01 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengisi waktu hari libur nasional, 17 Agustus 2022, di awal pagi dengan kegiatan kesukaan menjadi lebih asik. Upacara detik-detik proklamasi pun masih sangat lama untuk dinikmati. 

Agenda rutin 17-an di lingkungan pun masih tertutup gelapnya dini hari. Untuk menunggu itu semua kayaknya mendingan pilih aktivitas yang bikin hepi hati.

Hening dini hari menemani niat dan langkah. Sekedar meringankan beban istri tercinta yang sudah bersusah payah mendampingi saya selama sakit. Istri pun sebenarnya dalam keadaan sakit. 

Suara batuk kering yang lebih sering terdengar. Rasa sakit ditutupi dengan sikap optimis. Bisa dibayangkan,  sekelurga, berlima orang, secara bergiliran sakit. 

Saya, si kakak, dan anak bungsu yang hampir berbarengan sakit tenggorokan.  Alhamdulillah pagi itu tangan dan kaki diringankan Sang Kholik, sehingga beberapa pekerjaan selesai.

Menoleh sajadah di tempat shalat. Seakan mengajak nurani, mari bercerita tentang niat dalam bujuk rayu doa seorang hamba. Lama tak kulakukan, sekarang ada kesempatan, tancap gas saja.  Kuadukan segala hasrat, beban di hati aku sampaikan. Aku tidak mau gelisah. Dini hari masih diberikan kepada mahluk. Aku bagian dari waktu itu. Masih ada waktu untuk bersujud. Tersungkur kening hamba. Engkau Yang Maha Tinggi.

Masih ada kesempatan untuk menengok kiri dan kanan, barangkali ada pekerjaan tertunda. Kucoba mata lebih membelalak lagi. Ingatan pun kupacu kencang agar terbuka pekerjaan yang belum selesai. Namun jawaban indra ini sama saja. Sudah beres. Tidak ada lagi yang harus dikerjakan.

Merenung sejenak tentang pekerjaan seorang istri yang juga bekerja di luar rumah. Dia harus bangun lebih awal sebelum suami dan anak-anak. Selesai tunaikan shalat, bergegas ke dapur. Memanaskan air untuk dirinya juga keluarga. 

Menanak nasi kalau belum ada, bahkan harus pergi ke warung membeli bahan makanan jika makanan belum siap. Bagaimana jika masih ada anak kecil yang juga sudah bangun bersama ibunya. Waduh urusan ini dan itu, bagi waktu antara pekerjaan satu dengan pekerjaan lain seperti apa ya?

Mencoba memahami peran seorang istri yang sekaligus ibu. Aku duduk sendiri di  samping meja makan. Aku tengok ke kanan, ke arah mesin cuci. Waktu seperti ini biasanya istri saya sudah menggunakannya. Namun kesibukan mesin cuci belum nampak. Hanya pikiran positif saja yang kugunakan. Dia kecapaian mengurusi saya dan dua anak yang sakit juga kerjaan kantornya.

Mendadak ada suara gerindil tirai pembatas dapur berbunyi. "Srek srek" dua kali terdengar. Bergeser tirai, sesaat kemudian istriku pun hadir. Kehadiran yang dinanti. Ada rasa khawatir menyakiti dia jika dini hari ini saya bangunkan. Tidur dengan keadaan terlelap sekali. "Ayah sudah bangun, Alhamdulillah berarti sudah jauh lebih baik ya. Maafin tadi ya ga sempet ditemenin", paparnya sambil berusaha membenahi posisi duduk.

Sesuai dugaan terhadap kebiasaan menghadapi pagi, istri mulai keluarkan jurus perintah ini dan itu. Namun beberapa pekerjaan sudah beres lebih awal, malah istri balik bertanya. "Ayah kapan beres-beresnya, ga usah terlalu cape ya agar dapet pulih sempurna. Ingat kerjaan lain pun menuntut hak yang sama", seolah berceramah di depan kelas. 

Maklum istri saya seorang guru Sekolah Dasar. "Menunggu waktu daripada hanya duduk diam saja mendingan beberes yang bisa dilakukan. Ayah tidak menguras tenaga", jawabku meyakinkan kekhawatirannya. 

Tanpa diduga sebelumnya, pelukan hangat istri terasa begitu damai. "Thank you honey, I Love You", terdengar sura merdu mesra di telinga kanan. Ucapan tulus, spontan, ringan namun terasa erat keberadaannya di hati saya. Seolah menjadi bagian dari organ hati ini saking ngeblend.

Sajian minuman panas teh Prendjak yang bercampur air rebusan serai sudah saya siapkan. Satu teko teh ukuran kecil sudah duduk manis di atas anyaman kain khusus buat teko. Aroma air rebusan serai menyeruak mengisi sepenuhnya ruang dapur yang berukuran kecil. Maklum rumah tipe 21. Lumayan menambahi amunisi semangat berkarya demi keluarga.

"Yuk, kita minum lemon tea. Kita awali hari dengan bahagia", ajak saya tak kalah mesra. Berlanjut menambahi irisan buah lemon ke dalam gelas masing-masing. Berdua di ruang makan yang tak jauh dari dapur dan kamar mandi. Menikmati sajian sederhana, mewah di hati. 

Sebentar tapi terasa sangat lama sekali. Sepertinya keharmonisan membesar, bahkan bertambah berkah. Lebih romantis dari hotel berbintang, walau belum pernah menginap di hotel. Ngarep sih.

Naluri ibu juga seorang istri mulai keluar. "Kita harus atur waktu supaya semua kebutuhan di pagi hari ini terpenuhi", ujarnya beberapa saat kemudian. Seolah aturan main dibacakan. Dengan kekuatan jari jemari ditambah gesit badan bergerak, kesibukan pagi hari menjadi ramai. Kompor menyala kembali, kran air seperti biasa menemani gelas kotor yang tadi dipakai. Tak ketinggalan mesin cuci. 

Semua pakaian kotor setelah dipilah masuk ke mesin cuci. Pijit-pijit tombol mesin cuci. Nit, nit, nit tiga kali bunyi tombol mesin cuci terdengar nyaring menjadi penambah kesibukan pagi hari.

Anak-anak pun terbangun hanya dengan sapaan khas ibunya. "Teteh, Aa, dan Ade, rejeki pagi ga boleh dipatok ayam", ucapnya mengingatkan. Waktu libur sekolah seolah mengajak bermanja-manja dengan selimut namun kewajiban tetap harus dilaksanakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun