Meskipun sudah banyak yang sembuh kembali, virus Corona atau SARS Cov-2 seperti tidak terkendalikan. Menyerang siapapun bahkan telah mendapat suntikan 2 kali vaksin. Lebih dari itu ternyata "mereka" telah membentuk 11 varian baru.
Manusia telah menghasilkan aneka nama vaksin tapi hanya untuk mengatasi SARS-Cov-2, itu pun belum mampu mengatasi seluruh persoalan Covid-19 yang disebabkan varian pertama SARS Cov-2.
Tapi manusia belum kehilangan akal, seiring dengan hebatnya perlawanan SARS Cov-2 manusia mencoba alternatif lain.
Bukan.., bukan obatan herbal, tradisional atau rempah-rempah, juga bukan ramuan jampi-jampi buatan dukun, tapi (vaksin) berasal dari vaksin yang dihasilkan dan dipoduksi serta lolos uji klinis secara ilmiah yang disebut "booster injection" atau Vaccin Booster." Dengan kata lain sesungguhnya adalah vaksin tambahan.
Vaksin tambahan itu biasanya diberikan setelah seseorang mendapatkan vaksin awal (perdana). Suntikan vaksin boster untuk memperkuat vaksin kembali memberi perlindungan pada tubuh terhadap antigen tertentu.
Ide penggunaan vaksin tambahan ini pernah terjadi pada sejumlah peristiwa endemik atau wabah beberapa dekade lalu misalnya menghadapi serangan penyakit Polio ada vaksin tambahan, Polio Booster dosis namanya. Selain itu juga ada Hepatitis B Bosster dosis dan Tetanus booster dosis.
Vaksin booster untuk Tetanus misalnya digunakan kembali setelah 10 tahun saat apoptosis vaksin awalnya dinilai menurun. Dengan vaksin kembali (Tetanus boster dosis) tubuh akan kuat kembali menghadapi bakteri penyebab tetanus.
Namun, apakah vaksin booster SARS-Cov-2 yang kini mulai menjadi solusi di sejumlah negara merupakan langkah yang tepat?
WHO mengatakan belum ada bukti perlu vaksin tambahan bagi orang-orang yang telah divaksin bahkan sudah dua kali vaksin.
Selain itu juga mengingatkan masih terjadi ketimpangan ekstrim diantara negara-negara. Ada negara yang telah membeli jutaan dosis vaksin boster tapi di sisi lain ada negara masih sangat membutuhkan vaksin perdana.
Secara implisit WHO memberi pesan, agar negara-negara tidak berlomba memproduksi vaksin booster (tentu dengan harga lebih mahal) mengingat negara lain masih banyak berharap belas kasihan mendapatkan vaksin perdana.