Mohon tunggu...
Abanggeutanyo
Abanggeutanyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - “Besar, ternyata ada yang lebih besar, sangat besar, terbesar, super besar, mega besar dan maha besar.”

Nama : FM Al-Rasyid ---------------------------------------------------------------- Observe and be Observed

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Tentang Penumpang Gelap, Prabowo Lebih Baik Terlambat Sadar

10 Agustus 2019   16:27 Diperbarui: 10 Agustus 2019   16:58 818
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi penulis. Sumber : rmol.id/kartun. Diedit oleh Penulis

Pepatah mengatakan "Terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali." Untuk tujuan positif kita sependapat dengan makna yang terkandung dalam pepatah tersebut. 

Salah satu kaitan pepatah tersebut dengan tulisan ini adalah terkait dengan issu hangat saat ini ketika wakil ketua umum Gerindra Sufmi Dasco Ahmad membeberkan issu adanya "penumpang gelap" dalam kubu paslon 02 saat pilpres 2019 lalu.

Kenapa baru sekarang petinggi Gerindra ini baru menyampaikan adanya penumpang gelap itu yang ternyata telah tertanam kokoh dalam struktur tim sukses paslon 02,  tim Badan Pemenangan Nasional dan dalam koalisi Indonesia Adil Makmur. 

Mungkinkah selama ini sudah tahu tapi masih ragu, ataukah sudah tahu tapi tak ambil pusing. Bisa juga sudah tahu tapi belum tepat waktu menumpahkan uneg-uneg. Tapi bisa juga baru tahu belakangan pasca kekalahan sehingga terlihatlah semuanya dengan sangat terang benderang.

Kapanpun kondisi dibalik pertanyaan di atas faktanya adalah kubu Prabowo telah pecah. Koalisi Indonesia Adil Makmur telah tinggal kenangan dan timses BPN telah dibubarkan meratapi dan merenungi kisah dan tingkah polah masing-masing yang merasa paling berperan diantara berbagai pemeran di balik legenda capres Prabowo - Uno.

Fakta lainnya melalui  pernyataan pejabat teras partai Gerindra di atas menandakan telah muncul kesadaran sejelas - jelasnya dengan amat terang benderang bahwa dugaan banyak pengamat selama kampanye pilpres hingga pasca putusan MK tentang munculnya pihak ke tiga yang mendompleng atau menunggangi kendaraan koalisi Adil Makmur dan timses BPN akhirnya telah menjadi nyata.

Tak terhitung berapa banyak analis mengingatkan kubu paslon 02 dijangkiti pendompleng yang memanfaatkan nasionalisme Prabowo justru untuk mempermulus posisi dan jaringan mereka kemana-mana apalagi jika Prabowo ternyata jadi Presiden maka tak mudah melepaskan jaringan tersebut yang merasa telah berjasa mengantarkan Prabowo ke tampuk kekuasaan RI-1.

Tapi apa sikap kubu paslon 02? Bergeming bahkan menuduh balik barisan timses 01, koalisi MP dan TKN justru dijejali oleh barisan-barisan yang patut dipertanyakan kesuciannya pada NKRI bahkan sebagai antek aseng dan asing dan sebagainya.

Terlalu banyak flash back pemutar balik fakta untuk dibedah, cukuplah contoh peristiwa di atas menjadi saksi betapa tidak sadarnya kubu paslon 02 telah ditunggangi pihak ke tiga yang justru membuat "perjuangan" Prabowo - Uno kontra produktif dengan tujuan ingin dicapai.

Akibat ribuan hoaks, ribuan fitnah dan banjir putar balik fakta menyebabkan banyak orang berubah pikiran dan haluan kepada paslon 01. Mereka berpindah memilih Jokowi-Maa'ruf.

Dalam catatan penulis sesungguhnya tanda-tanda munculnya kesadaran Prabowo sudah terlihat saat mulai bijak menyikapi hasil Pilpres  KPU. Proabowo tidak tertarik ajakan people power atau sejenis dengan itu melainkan melaui cara elegan dan legal yakni ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Tanda-tanda Prabowo mulai bijak menyikapi potensi "kehancuran" penulis ingat saat didampingi Sandi Uno dan timses menyampaikan sikap politik yang penulis nilai "cerdas dan hati-hati" ketika memberi pidato di kediamannya bersifat mendinginkan suasana  saat terjadi kerusuhan 21-22 Mei 2019. Ketika itu kerusahan mulai meingkat panas akibat mulai jatuhnya korban jiwa.

Saat itu Prabowo meminta pendukungnya agar mengikuti langkah-langkah konstitusional dan bersabar menghadapi tekanan yang diberikan oleh aparat keamanan.  Salah satu paragraf yang cerdas menurut penulis adalah dalam penggalan pidatonya (22/5/2019) adalah berikut ini :

Saya tegaskan kepada semua yang masih mau mendengar saya, para pendukung saya, sekali saya tegaskan hindari kekerasan fisik berlakulah sopan santun. Hormatilah pejabat pejabat penegak hukum dan jangan sekali-kali menggunakan kekerasan. Memang berat, saya memahami.

Kehati-hatian Prabowo tercermin dalam pidato yang sama tertuang dalam penggalan berikut :

Apapun terjadi demi negara, bangsa dan negara demi seluruh umat, demi semua agama hindari kekerasan.

Melalui dua penggalan isi pidato diatas penulis menangkap signal "sadar' Prabowo tampaknya mulai meningkat. Dia mulai sadar bencana seperti apa akan terjadi JIKA meneruskan jargon-jargon bersifat memantik panas lebih membara sebagaimana yang diinginkan pendompleng dalam barisannya. Untung Prabowo cerdas dan hati-hati menyikapinya.

Dari situ kita yakin bahwa aksi people power dan menolak ke MK sebagaimana diusulkan Amien Rais (dkk) pasti tidak akan sejalan dengan kebijakan Prabowo seiring dengan meningkatnya alam bawah sadar Prabowo setelah melihat fakta demi fakta pendompleng (yang sekarang disebut "penumpang gelap") telah banyak bergelayut dimana-mana dalam kendaraan politiknya.

Benar saja, akhirnya Prabowo menempuh jalur Hukum dan membawa kasusnya ke MK dengan ekspektasi (dalam hati) mustahil bisa menang. Dan faktanya MK menolak semua tuduhan paslon 02. 

Setelah keputusan MK itu Prabowo bukannya membara melainkan meneruskan sikap cerdas dan hati-hatinya melalui pidato pernyataan politik berikutnya menghormati putusan MK pada. Dia mengakui sangat kecewa dengan keputusan tapi harus patuh pada konsitusi. "Namun kita semua sepakat akan tetap patuh dan mengikuti jalur konstitusi kita yaitu UUD RI 1945 dan sistem perundang-undangan," ujarnya.

Dari kedua peristiwa di atas tampaknya jelas secara eksplisit Prabowo sudah menyadari ada "penumpang gelap" dalam kendaraan politiknya sejak menyampaikan pidato pada 22 Mei 2019. Kita tidak tahu secara implisit kapan sadarnya mulai terjadi karena tidak dapat menebak secara pasti. 

Dengan demikian pernyataan SDA di atas sesungguhnya masuk katagori terlambat sadar. Sewajarnya untuk ukuran politkus kaliber kelas berat dengan jabatan wakil ketua umum harusnya pernyataan seperti itu telah meluncur sejak lama, setidaknya seminggu pasca MK menetapkan keputusannya.

Tapi (sekali lagi) ibarat kata pepatah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, tak apalah kita maklumi curhatan SDA. Jika ada hal-hal yang membuat SDA terlambat menyampaikannya tentu SDA dan kawan-kawannya saja yang tahu kenapa dan apa sebabnya.

Salam Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun