Keputusan manajerial untuk memprioritaskan fungsi operasional ibadah di atas keselamatan fisik anak di bawah umur adalah kelalaian yang tidak dapat dimaafkan dalam perspektif hukum perlindungan anak dan keselamatan publik.
IMB: Kunci Pengaman yang Dibuang
Tragedi teknis ini tidak muncul dari ruang hampa; ia berakar dari kegagalan administratif yang fatal: dugaan ketiadaan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Bupati Sidoarjo, Subandi, secara langsung menegaskan bahwa bangunan musala itu diduga kuat tidak memiliki IMB dan bahwa dokumen perizinan tidak ditemukan.
IMB itu bukan sekadar stempel birokrasi, kawan! IMB adalah mekanisme negara untuk memastikan:
Verifikasi Desain Struktural: Bahwa desain bangunan sudah diverifikasi dan dijamin aman sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI).
Pengawasan Profesional: Bahwa konstruksi akan diawasi oleh petugas bersertifikat, yang akan menghentikan pekerjaan jika keselamatan umum terancam—termasuk memastikan scaffolding dipasang dengan benar.
Ketiadaan IMB di Al Khoziny otomatis memutus rantai pengawasan resmi ini. Pengasuh Ponpes, KH Abdus Salam Mujib, merespons dugaan ini dengan pernyataan yang lebih mengkhawatirkan: “Semuanya di sini sama saja.”
Pernyataan ini menunjukkan resistensi kelembagaan yang menganggap otonomi Ponpes, atau praktik pembangunan swadaya, lebih tinggi dari kepatuhan terhadap regulasi keselamatan sipil. Ini adalah Bentrokan Kedaulatan (Clash of Sovereignty) antara jaminan keselamatan negara (UU Bangunan Gedung) dan otonomi institusi agama. Ketika izin diabaikan, Ponpes menjadi pengatur tunggal yang gagal total dalam menjamin standar teknis.
Mandat Akuntabilitas dan Desakan Reformasi
Tiga korban jiwa dan 86 korban luka menuntut lebih dari sekadar permohonan maaf dan narasi ‘takdir’. Kelalaian manajerial yang menyebabkan kematian ini harus disikapi sebagai potensi tindak pidana kelalaian yang menyebabkan hilangnya nyawa.