Tragedi Santri Sidoarjo: Ini Bukan Takdir, Ini Kelalaian yang Bikin Nangis
Sebagai seorang mahasiswa, saya merasa shock, hampa, dan marah melihat berita tragis yang datang dari Sidoarjo. Mushola Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny ambruk, tepat pada Senin sore (29/9) saat ratusan santri, teman-teman sebaya kita, tengah menunaikan salat Asar berjemaah di dalamnya.
Ini bukan sekadar berita duka. Ini adalah krisis akuntabilitas yang tidak bisa kita abaikan. Tiga nyawa santri melayang—Sefian Ibrahim, Mochammad Mashudulhaq, dan Muhammad Soleh—dan 86 lainnya menderita luka-luka. Bayangkan, satu pasien bahkan harus menjalani amputasi lengan kiri karena tertindih reruntuhan.
Ini adalah harga nyawa yang harus dibayar mahal karena apa yang seharusnya menjadi tempat paling aman tempat ibadah dan pendidikan berubah menjadi kuburan bagi mereka.
Namun, yang paling mengganggu nurani kita adalah narasi yang muncul dari pihak pengelola Ponpes. Meskipun permohonan maaf disampaikan, insiden tragis ini dengan mudahnya disebut sebagai “takdir dari Tuhan.”
Saya menghargai keyakinan spiritual, tetapi sebagai generasi muda yang dididik untuk berpikir kritis dan menuntut keadilan, kami menolak narasi ini. Tragedi Al Khoziny adalah manifestasi nyata dari kegagalan sistemik dan kelalaian yang dilakukan oleh manusia, bukan semata-mata kecelakaan alamiah. Kita harus mengalihkan fokus dari spiritualitas menuju akuntabilitas hukum dan teknis!
Judi Nyawa di Tengah Pengecoran
Fakta-fakta di lapangan menunjukkan adanya pelanggaran keselamatan yang luar biasa fatal. Bangunan mushola tiga lantai itu dilaporkan masih dalam proses pembangunan yang sudah berjalan 9 hingga 10 bulan. Dan yang paling gila, saat ambruk, bangunan tersebut sedang menjalani tahap pengecoran akhir di bagian atas atau dek!
Bagaimana mungkin mushola yang sedang berada di bawah beban maksimum cor basah dan material berat, tetap digunakan secara aktif oleh ratusan santri untuk ibadah berjemaah?
Ini bukan lagi kelalaian, ini adalah judi nyawa yang fatal. Kesaksian santri korban sangat mengerikan; mereka mendengar suara retakan dari atas saat baru memasuki rakaat kedua, sebelum semuanya roboh total.
Penyebab langsungnya sudah jelas: penopang cor (scaffolding) tidak kuat dan jebol! Ahli teknik sipil menegaskan bahwa runtuhnya scaffolding adalah indikasi kegagalan kritis dalam perhitungan beban. Kegagalan ini menunjukkan bahwa material pendukung tidak mampu menahan beban cor basah, material besi, dan bobot pekerja di atasnya.