Mohon tunggu...
Aat Suwanto
Aat Suwanto Mohon Tunggu... Administrasi - hirup mah ngan saukur heuheuy jeung deudeuh

Tukang main, sesekali belajar menjadi pemerhati dan peneliti serta penulis (dengan 'p' kecil) di bidang Pariwisata, selain juga menulis essai di bidang humaniora, serta menulis cerpen dan novel terutama dalam bahasa daerah Sunda.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kurikulum Merdeka Untuk Para Pendidik yang Merdeka

1 Juli 2023   05:51 Diperbarui: 1 Juli 2023   05:55 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Satu syarat utama agar Kurikulum Merdeka dapat terlaksana secara baik, namun tampaknya belum banyak disadari oleh para insan pendidikan, adalah jiwa yang merdeka yang semestinya dimiliki oleh para pendidik.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia online (kbbi.web.id), merdeka mengandung arti, (1) bebas, berdiri sendiri; (2) tidak terkena atau bebas dari tuntutan; (3) tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu, leluasa.

Konteks implementatif kemerdekaan yang sangat ditekankan dalam Kurikulum Merdeka sendiri adalah soal kemandirian: mandiri belajar, mandiri berubah, dan mandiri berbagi (kurikulum.kemdikbud.go.id).

Kemandirian memang sebagai esensi mendasar dari mereka yang telah memiliki jiwa yang merdeka. Tanpa adanya sikap yang mandiri, tak mungkin kemerdekaan akan dirasakan. Begitu pula seharusnya mentalitas dan sikap yang dimiliki oleh para pendidik ketika mereka menjadi pendidik Kurikulum Merdeka.

Dengan mentalitas dan sikap yang mandiri, para pendidik pastinya tidak lagi akan memiliki rasa takut untuk keluar dari zona nyaman yang selama ini mereka dapatkan sebagai seorang pendidik. Mereka didorong untuk mau terus mengeksplorasi diri dan lingkungan sekitarnya untuk menembus segala keterbatasan demi membangun para peserta didik dengan soft skill dan karakter yang mumpuni sebagaimana yang menjadi salah satu karakteristik dari Kurikulum Merdeka (kurikulum.kemdikbud.go.id).

Dalam hal ini, Kurikulum Merdeka tampaknya telah memberikan ruang kebebasan kepada para pendidik untuk menjadi pendidik yang kreatif. Untuk menjadi pendidik yang kreatif sendiri, meminjam pemikiran Jalaludin Rahmat (1996), berarti para pendidik harus didorong untuk selalu dapat membangun dan memiliki gagasan baru namun realistis dalam penyelenggaraan proses mendidiknya.

Dari pemahaman ini saja sudah sangat jelas, Langkah awal yang harus dilakukan oleh para pendidik dalam melaksanakan proses pendidikan berbasis Kurikulum Merdeka adalah dengan melihat segala permasalahan yang mereka hadapi dalam mendidik, dari keunikan para peserta didik hingga keterbatasan fasilitas, dalam perpektif yang baru: dari tadinya sebagai kelemahan menjadi sebuah tantangan.

Sampai disini, kiranya para pendidik harus memahami bilamana sesungguhnya Kurikulum Merdeka telah memberikan kebebasan kepada mereka untuk dapat menghasilkan kualitas peserta didik yang baik tanpa usah lagi mempermasalahkan lagi segala kekurangan dan kelemahan yang terdapat dalam dunia pendidikan kita yang sampai kapan pun, bilamana terus dipermasalahkan, pasti akan terus dirasakan kurang.

Tentu saja, kemerdekaan yang didapat para pendidik dalam Kurikulum Merdeka bukannya kebebasan yang seenak udele dewe. Bukan seenak maunya pribadi. Yang pada akhirnya kemerdekaan dimaksud malah menjadi kebebasan yang anarkis. Kebebasan yang justru akan merusak tatanan dunia pendidikan secara keseluruhan, khususnya mematikan potensi masa depan dari para peserta didik.

Kemerdekaan yang didapat para pendidik dalam Kurikulum Mereka tetap sebagai kemerdekaan yang dapat dipertanggungjawabkan. Tetap bersifat obyektif, karena proses pembelajaran yang dilakukan seluruhnya berbasis rencana pendidikan yang dalam penyusunannya berdasar atas hasil pengamatan yang obyektif terhadap peserta didik dan segala elemen pendidikan yang ada dengan satu tujuan pasti, demi tercapainya (minimal) kompetensi dasar dari para peserta didik sebagaimana ditentukan menurut pedoman perundangan pendidikan seperti terkait kemampuan literasi dan numerasi.

Itu sebab, jalannya proses pendidikan itu pun menjadi dapat dinilai secara bebas dan terbuka oleh masyarakat luas. Tentu saja secara obyektif pula, ialah dengan membandingkan rencana pembelajaran yang telah disosialisasikan dan disepakati sebelumnya dengan capaian hasil yang didapat kemudian. Dan para pendidik pun seharusnya mau bersikap terbuka untuk dapat membebarkan rencana pendidikan yang telah mereka susun kepada masyarakat, khususnya para orang tua dari peserta didik, serta dapat berlapang dada bilamana dalam perjalanannya kerapkali mendapat kritik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun