Menurut Gibran, heningnya kesunyian justru sering membuka mata insan terhadap kekurangsempurnaan dirinya. Takut atas sepi karena akan membuka tabir dirinya, maka orang lari dari kesepiannya itu  lalu omong sana omong sini, omong Anu dan omong Ana, sehingga sangat boleh jadi akan semakin tidak terkontrol lagi.
Ketiga, omong itu harusnya tentang kebenaran. Omongan yang semakin tidak terkontrol terjadi manakala orang tergiur oleh respon pihak lain, atau ditanggapi penuh penyulut emosi. Dalam dunia medsos dewasa ini, sindir-menyindir, ejek-mengejek, seolah-olah dianggap sebagai penyedap berbicara; padahal dalam suasana serba menyindir seperti itu bukan kebenaran yang dibahas, melainkan sering tentang privacy seseorang. Kebenaran makin jauh, makin sayup,
Keempat, Gibran menyarankan demikian: "Jilakau bertemu teman di pinggir jalan, di pasar atau di pecan; biarkanlah batin suaramu bicara kepada batin telinganya. Oleh sebab batinnyalah yang akan menyimpan pesan hatimu. Sebagaimana citarasa anggur terkenang selalu, pabila warnanya telah terlupa, dan serat buahnya telah lama tiada." Butir keempat ini Gibran mengajarkan, mari perbanyaklah bicara dari hati ke hati, karena cara bicara seperti itulah yang akan mengesan dan berumur panjang. Â
Dalam konteks dewasa ini, cara bermedsos rasanya harus diubah menjadi bermedia yang benar-benar menyuburkan kehidupan sosial, bukannya mematikan. Bahasa bermedsos perlu diubah menjadi bicara dari hati ke hati model baru. Jauhkan sindir-menyindir, umpat-mengumpat dan gantilah menjadi sapa-tawa penuh sopan. Awalnya mungkin tidak seru, tetapi kehidupan sosial memang barus berisi sapaan-sapaan sopan.
-0-