Mohon tunggu...
aan anshori
aan anshori Mohon Tunggu... Buruh - Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD)

Humanitarian worker and researcher

Selanjutnya

Tutup

Politik featured

IPT 65 di Antara Kepungan Empat Kelompok

18 Agustus 2015   22:46 Diperbarui: 18 September 2017   00:05 1393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lestari, keluarga korban kekerasan peristiwa 1965 asal Blitar, Jawa Tengah, saat mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, Selasa (17/1/2012).

SELASA16 Juni lalu, saya diundang KONTRAS Surabaya menghadiri sebuah diskusi terbatas seputar Peristiwa 1965. Jika dihitung, sudah 50 tahun tragedi yang menewaskan ratusan ribu tertuduh PKI ini berlalu. Hampir semuanya dieksekusi tanpa melibatkan pengadilan. Lima kali ganti presiden tidak juga mampu menuntaskan persoalan ini secara bermartabat.

Kalau hendak disederhanakan, pertanyaan pendek menyangkut Peristiwa ini adalah apakah Tragedi paling kelam dan memalukan dalam sejarah modern Indonesia ini hendak diselesaikan atau dilupakan saja. Jika opsi pertama diamini, pertanyaan lanjutan telah menanti; dituntaskan melalui mekanisme hukum, atau cukup diselesaikan secara adat, misalnya memakai ritual potong kerbau atau bancakan jajan pasar. Problemnya selalu berputar-putar di dua pertanyaan tersebut.

Kabar terakhir, Pemerintahan Jokowi telah membentuk sebuah tim yang ditugasi menyelesaikan 6 kasus pelanggaran HAM berat selama ini, termasuk Peristiwa 65. Dengan berbagai argument, kemungkinan besar ritual potong kerbau akan dipilih untuk menyelesaikan Peristiwa tersebut. Apakah ini memuaskan? Kita tentu bisa berdebat. Namun jika mau fair, Jokowi harusnya dengan rendah hati menemui para Korban atau keluarganya, menanyai dan berdialog dengan mereka menyangkut apa yang mereka kehendaki, sebagaimana yang pernah dilakukan Presiden Gus Dur.

Harus diakui, pengungkapan Peristiwa ini memang membuat banyak orang merasa sangat rikuh. Situasinya mirip seperti korban perkosaan berjamaah yang menuntut keadilan agar peristiwa itu diungkap. Sang Korban sadar jika pelakunya berserak; dari tukang tambal ban hingga komandan, dari preman hingga tokoh agama. Motif perkosaannya pun variatif. Ada yang sejak awal berencana menodai korban, namun tidak sedikit yang sekedar ikut-ikutan. Bahkan, banyak yang mengaku terpaksa ikut memerkosa karena takut diperkosa-balik jika tidak mau memerkosa. Jargon-heroiknya kala itu, ‘memerkosa atau diperkosa!”

suarakeadilan.org
suarakeadilan.org
SALAH PAHAM IPT 1965

Kembali ke acaranya KONTRAS. Diskusi sore itu terfokus pada rencana perhelatan International People’s Tribunal 65 (IPT) di Den Haag Oktober mendatang. IPT ini semacam sidang mahkamah rakyat internasional untuk “memeriksa dan mengadili” siapa yang bersalah dalam Peristiwa 65. Akan tetapi, bukankah Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma yang mengatur soal Pengadilan Pidana Internasional? Betul. Justru karena hal itu ‘persidangan’ ini dibuat. 

Tujuan utamanya, untuk memecah kebuntuan hukum dan memberikan political pressure bagi pemerintah Indonesia, agar segera menuntaskan Peristiwa ini. Bagi yang aktif berkecimpung di dunia advokasi, tentu sangat memahami signifikansi stategi shaming and naming dalam memperjuangkan sebuah kasus.

Rencana IPT 1965 ini sempat jadi pembahasan serius di organisasi dimana saya menjadi pengurus dan mempunyai kartu anggota. Mungkin karena tidak mendapat informasi memadai mengenai IPT 1965, tidak sedikit elite organisasi saya yang memilih resisten. Mereka mempersepsi tribunal ini tidak hanya akan ‘mendakwa’ para leluhur yang memang terlibat aksi kekerasan 1965. Namun lebih jauh, IPT juga akan menyeret organisasi saya ke kursi pesakitan.

Minimnya informasi tentang IPT 65 pada gilirannya mendorong organisasi saya merespon terlalu jauh’. Dalam berbagai forum, selalu dikumandangkan bahwa IPT ini akan mendakwa para kiai, selain pemerintah. Kumandang ini pada sekian menit berubah menjadi ajakan berjihad manakala dikunci dengan satu kalimat heroik, ‘Apakah kita, sebagai santri, rela kiai kita –yang telah berkorban membela Negara dan kehormatan umat islam korban 1948- dipermalukan seperti itu oleh antek-antek PKI?!.”

Kesalahpahaman tentang IPT masih saya temukan, setidaknya dari paparan mas Mun’im Dz -saat beliau menjadi pembicara –bersama Gus Sholah- dalam bedah Buku Benturan NU-PKI, Kamis 7 Mei 2015. Waktu itu saya hadir –meski tidak sampai selesai- bersama ratusan santri dan mahasiswa dari BEM se-Jawa Timur di Gedung Yusuf Hasyim Tebuireng.

Yang saya tahu, IPT 65 akan mendakwa state-actor (terutama militer) yang diduga kuat menjadi pelaku dalam peristiwa itu. Panel ‘hakim’ nantinya akan memeriksa sejauh mana peran mereka berdasarkan bukti dan kesaksian yang dikumpulkan oleh prosecutor. IPT 1965 -sepanjang yang saya tahu- tidak akan menyeret dan menjadikan leluhur, tetua dan organisasi saya sebagai bagian dari Terdakwa. Jika salah satu sumber utama IPT, asumsi saya, adalah warisan penyelidikan pro yustisia Komnas HAM 2012 lalu, maka setidaknya ada 3 pihak dalam militer yang dapat dimintai pertanggungjawaban. Pertama, komandan pembuat kebijakan, yakni Pangkopkamtib periode 1965 hingga 1969, dan Pangkopkamtib periode 19 September 1969 sampai setidaknya akhir 1978. Kedua, Komandan yang memiliki kontrol secara efektif (duty of control) terhadap anak buahnya, yakni para Penganda dan/atau Pangdam periode 1965 hingga 1969, dan periode 1969 sampai akhir 1978. Ketiga, individu/komandan/anggota kesatuan yang dapat dimintai pertanggungjawaban sebagai pelaku lapangan.[2]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun