Kemarin malam, Teman lama berkunjung ke kompleks kosan saya. Kebetulan saya sedang beraktifitas sepedaan sehingga saya tidak bisa bertemu dia. Yang menemui adalah sahabat saya ( tetangga kos ) , karena posisinya kemarin malam masih berada di kos.
"Saya minta tolong, transferkan uang ke ibu saya. Ini ada uang tiga ratus ribu." Teman lama saya meminta tolong
Sahabat saya baik hatinya, ia pun lantas memberikan pertolongan dengan mentransferkan uang kepada ibu teman lama saya.
Saya kasihan pada teman lama saya itu. Pasti berat bebannya dan juga fikirannya.
Usut punya usut, ternyata istri teman lama saya itu sangat ketat kalau urusan uang. Bahkan teman lama saya akan kena omel dan marah karena pernah ketahuan mentransferkan uang ke ibunya.
Saya merenung lumayan lama. Memikirkan apa yang terjadi itu dan bagaimana solusinya dan karena buntu saya curhat saja ke bapak. Ya. Selama ini beliau sudah sangat sering mendengar curhatan anaknya ini.
Bapak saya bilang,
"Kadang kita salah menafsirkan hadits. Misalnya ada pertanyaan dari pihak istri, lebih memilih mana berbakti pada suami atau orangtua? Hadits atau ayat apapun harus diperlakukan dengan adil karena teks apapun bisa saja disetir sesuai kepentingannya sendiri. Ini yang berbahaya. Kamu harus ingat anakku bahwa alqur'an dan hadits itu bukan hanya bermakna syariat namun juga bermakna sebagai solusi."
"Kembali ke pertanyaan di atas, poin pentingnya adalah bukan tebang pilih namun siapa yang didahulukan. Dan kuncinya ada pada kata "berbakti". Artinya berarti kita harus berbakti dua-duanya dong. Kasus yang menimpa temanmu yang istrinya marah gara-gara ia mentransfer uang ke ibunya lalu diam-diam tanpa sepengetahuan istrinya mentransfer ke ibunya. Pertanyaannya, kenapa ia diam-diam? Berarti ada yang salah dengan perilaku istrinya kan. Kalau sudah begitu, cobalah suruh temanmu bicara dari hati ke hati di musyawarahkan dan dicari titik temunya. Cari jalan keluar dengan ngobrol. Anakku, dalam pernikahan harus ada keterbukaan kalau masih ada yang ditutupi nanti akan jadi masalah. Juga suruh temanmu menjelaskan bahwa sebagai suami itu dalam syariat masih ada tanggung jawab berbakti kepada orangtua. Pernikahan bukan perkara egois tetapi perkara berbagi dalam empatis. Kalau masih ngeyel dan kekeuh melarang suami berbakti pada orangtua itu menandakan istri yang durhaka. Semoga saja tidak ya "
"Anakku. Ingat ya, menikah itu artinya kita juga menjadikan orangtua dari pasangan kita orangtua kedua kita. Artinya hormatilah dan berbaktilah juga. Akan indah misalnya jika sang istri memberikan hadiah kepada ibu suaminya demikian juga sang suami memberikan hadiah pada orangtua istrinya, karena sama-sama sadar bahwa mencintai itu adalah memberi cinta. Jika ada satu saja yang egois pasti nanti akan jadi masalah. Kalau ingin menikah itu indah maka jadikan pasanganmu sebagai teman hidup, teman belajar, teman mencurahkan isi hati, ia bisa bermakna guru bisa juga bermakna murid, ia juga sebagai landasan cara pandang kebahagiaan, ia juga harus jadi pihak pertama obrolan, dan juga tempat untuk saling melengkapi. Artinya apa yang kita lakukan terbesit di fikiran kita, apakah pasangan kita ridho dan bahagia? Andai suami istri berpandangan demikian pasti akan indah karena sama-sama memiliki empatis dan simpati. Kalau cara pandang masih ego sendiri pasti akan jadi masalah. Mencintai itu tentang sama --sama ingin memberi bukan menuntut ingin menerima"
"Yang sering luput. Ingat anakku sebelum nikah, diskusikan banyak hal. Tentang mau tinggal dimana, mas kawinnya apa, resepsinya bagaimana, undangannya bagaimana, dirumus semua. Banyak perceraian akibat lupa mendiskusikan hal-hal itu."
Saya memperhatikan dengan seksama nasihat bapak, tiba -- tiba bapak malah balik bertanya,