Mohon tunggu...
Em Amir Nihat
Em Amir Nihat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Kecil-kecilan

Kunjungi saya di www.nihatera.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masih Pantaskah Kita Disebut sebagai Umat Rasulullah SAW?

4 Desember 2017   09:15 Diperbarui: 4 Desember 2017   10:05 936
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Istilah, aku cinta kamu adalah istilah manusia mengungkapkan kegagumannya kepada makhluk lain ciptaan Tuhan. Sehingga I love you tidak berhenti pada istilah pacaran lawan jenis, tetapi juga cinta negara, cinta orangtua, cinta kepada alam dan cinta kepada yang lainnya. Proses ini sebenarnya wujud usaha manusia untuk mencari cinta sejatinya yakni cinta kepada Tuhan.

Namun seringkali manusia selesai pada kecintaan kepada makhluk sehingga kecintaan kepada Tuhan hanyalah ditaruh di tempat paling belakang. Butuh Tuhan jika lagi butuh, saat tidak butuh ia menikmati dunia seolah-olah sudah memilikinya. Fatamorgana manusia sekarang adalah merasa bahwa dunianya sekarang ini berjalan sesuai apa yang dia inginkan. 

Kaya raya, punya pasangan yang baik, pokoknya pasti muaranya kebahagiaan dunia menurut versi dirinya. Banyak yang lupa bahwa ukuran nikmat dunia itu juga sebagai ukuran timbangan amal di akherat. Semakin banyak kebahagiaan dan kesenangan maka akan semakin berat juga tanggungjawabnya kepada kebahagiaan dan kesenangan itu. 

Sehingga kita semua dituntut untuk tidak "lali" dengan akherat dan kenikmatan dunia cukuplah dinikmati dengan sederhana dan wajib hukumnya mensyukuri nikmat. (menyangkut syukur dalam ucapan, perbuatan dan pengamalan). Rasulullah SAW membangun akhlak atau etika yang baik didalam hidupnya. Kehidupan Rosululloh penuh kebersahajaan. 

Tidur Rasulullah hanya menggunakan pelepah kurma. Bagaimana dengan kita yang tidur dengan kasur empuk, pernahkan kita malu dengan apa yang dilakukan kita padahal kita mengaku umat Rasulullah, minimal izin dulu bahwa kita kurang bisa mencontoh beliau. Rasulullah makan jika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang. Bagaimana dengan kita yang makan terus dan makan enak. 

Apakah saat makan enak kita ingat bahwa Rasulullah makan dengan sederhana. Sedangkan kita makan begitu enaknya. Tidakkah kita malu besok jika bertemu beliau, bahwa sebenarnya kita mengidolakan beliau hanya sebagai pengakuan simbolis belaka tetapi praktik kesehariannya sangat jauh dari perilaku Rasulullah. Rasulullah rumahnya sangat sederhana, bagaimana dengan kita yang sibuk membuat rumah yang megah dan mewah. Masihkah ada rasa malu jika membayangkan bahwa rumah kita lebih bagus daripada rumah Rasulullah. Masih pantaskah kita menyebut bahwa kita ini umat beliau ?

Kita sering mengagungkan Rasulullahbahwa misalnya berkata : wajar saja beliau itu kan mahsum, sedangkan kita kan penuh dengan dosa. Ucapan ini memang tidak salah tetapi terkesan meremehkan dan tidak optimis. Bayangkan saja jika beliau mendengar ucapan itu hanya sebagai kedok untuk berbuat dosa, seharusnya kita malu. Kita berusaha semaksimalmungkin mencontoh beliau dari perilakunya, ibadahnya, cara beliau makan, cara beliau bertetangga, cara beliau bermuamalah dan lain sebagainya.

Kita harus jujur bahwa kita sering memunafikan diri kita sendiri dengan hanya memakai simbolis Islam di KTP dan sekedar ucapan bahwa sebagai umat Rasulullah. Ingat! Pakaian simbolis dan pengakuan tanpa amal dan perbuatan hanyalah fatamorgana belaka. Karena pengakuan, amal dan perbuatan merupakan wujud kesatuan yang tidak terpisahkan dan harus utuh saling mengeratkan.

Saya pribadi termasuk orang yang marah jika istilah islam digunakan sebagai kedok politik, kedok keduniaan, kedok mencari pasangan, kedok menipu orang lain. Banyak dari kita merasa mengagungkan Islam tetapi sebenarnya sedang merendahkan islamnya sendiri.

Taaruf sebagai kedok pacaran, ayat dijual belikan dipersaingan politik, dan lain sebagainya. Seharusnya muaranya atau sumbu akhir dari Islam adalah Tuhan. Kecintaan dan keikhlasan kepada Tuhan. Sedangkan tetekbengek kepentingan dunia hanyalah jembatan perantara semata yang memang harus dilalui tetapi jangan sampai lupa tujuan akhir bahwa cinta Tuhan adalah pemberhentian paling akhir. 

Artinya niat awal adalah Ridho Tuhan sedangkan pemberhentian terakhir juga harus Ridho Tuhan. Jangan sampai goyah, dan ganti niat. Jangan sampai mejadikan islam sebagai pemuas nafsu keserakahan dunia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun