Mohon tunggu...
Fatoni
Fatoni Mohon Tunggu... Lainnya - Hello World

Simple

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kasus Ibu Meiliana, Siapa yang Salah?

24 Agustus 2018   03:16 Diperbarui: 24 Agustus 2018   04:53 1750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Toleransi bukanlah untuk minoritas dan bukan untuk mayoritas, tapi toleransi untuk keduanya. Tidak akan tercipta tujuan hakiki dari adanya toleransi jika toleransi hanya dari satu pihak dan tidak berlaku untuk pihak lain. Mayoritas dan minoritas harus saling bertenggang rasa sekaligus bertoleransi demi terciptanya keharmonisan hubungan diantara warga masyarakat khususnya yang berbeda agama.

Mengenai masalah toleransi, baru-baru ini merebak berita bahwa ada kasus seorang warga Tionghoa bernama Ibu Meiliana di Sumatra Utara yang berbuah vonis 18 bulan kurungan penjara hanya karena mengeluhkan suara speaker masjid. kasus ini menjadi kontroversial dan mengusik hubungan antara mayoritas dan minoritas di negeri ini. 

Bahkan ada petisi di change.org yang sudah ditandatangani secara massive saat ini sekitar 76 ribu lebih bertajuk "Bebaskan Meiliana, tegakkan toleransi!". Oh ya, kalau mencermati judul pemberitaan di media-media mainstream, seolah yang dikeluhkan Ibu Meiliana ini adalah "volume suara adzan", "suara adzan", "adzan", "pengeras suara adzan". 

Saya sendiri lebih suka jika ditulis dengan kata-kata "volume speaker masjid" daripada ada kata "adzan"-nya untuk mengurangi sensitivitas agama dan lebih tepat ke sasaran masalahnya yaitu keluhan Ibu Meiliana terkait suara speaker masjid yang kebetulan dikeluhkan ketika digunakan untuk adzan. 

Padahal kita tahu bahwa speaker masjid tidak hanya untuk adzan, tapi mengapa yang dikeluhkan adalah adzan jika dilihat dari pemberitaan media. Patut dipertanyakan apakah benar Ibu Meiliana terganggu oleh adzan atau oleh suara speaker yang terlalu kencang, dan apakah keluhan Ibu Meiliana ini bersifat spontanitas begitu saja atau memang sudah menjadi kegelisahannya selama ini? Jika memang suara speakernya terlalu keras, saya jadi bertanya-tanya seberapa dekatkah rumahnya dengan masjid? dan seberapa keraskah volume speakernya? jika suaranya memang "keterlaluan" sehingga menganggu, adakah warga lain yang mengeluh? atau hanya Ibu Meiliana sendiri yang mengeluh?

Dari kronologi yang saya baca di sini, saya berasumsi bahwa yang menjadi penyebab awalnya adalah ucapan Ibu Meiliana yang terdengar kurang sopan saat meminta suara speaker masjid dikecilkan sehingga membuat ketersinggungan. Saya simpulkan bahwa ada ketersinggungan sebab disini keluar ucapan "Kakak janganlah gitu bercakap, haruslah sopan sikit ", dan akhirnya setelah kunjungan dari rumah Ibu Meiliana tersebut merebak dari mulut ke mulut antar warga, padahal seharusnya ini sudah selesai karena suami Ibu Meiliana sudah meminta maaf ke pihak pengurus masjid. 

Karena sudah terlanjur tersebar, akhirnya terkumpullah massa mendatangi rumah Ibu Meiliana. Selanjutnya pukul 23 "Massa tidak terkendali dan melempari dan merusak rumah Meiliani". Kronologi tidak memberitahukan secara detail apa yang terjadi antara pukul 22 sampai pukul 23, rasanya tidak mungkin massa dari kantor kelurahan langsung begitu saja melakukan tindakan anarki di rumah Ibu Meiliana tanpa adanya interaksi terlebih dahulu antara Ibu Meiliana dengan massa yang datang. 

Hal ini penting, sebab bisa jadi disinilah penyebab utama hingga membuat massa menjadi emosi dan akhirnya meluapkannya dengan melakukan perusakan terhadap rumah Ibu Meiliana, bahkan tidak hanya itu, vihara yang tidak salah apa-apa turut dirusak dan dibakar. Tentu ada kemarahan yang besar dari warga melebihi dari sekedar terusik karena keluhan suara speaker masjid.

Siapa yang salah?

Bila dilihat dari kronologi peristiwanya, nampaknya ada pihak yang memanas-manasi persoalan, atau ada kesalahan persepsi warga ketika mendengar informasi yang tidak utuh sehingga hal kecil ini menjadi ramai, mengundang massa dan terjadilah pergolakan (perusakan rumah Ibu Meiliana dan sebuah Vihara dibakar) dan akhirnya berujung pada pemrosesan hukum terhadap Ibu Meiliana oleh aparat kepolisian atas rekomendasi MUI Kota Tanjungbalai.

Jadi pertanyaannya siapa yang salah? menurut pandangan saya, kesalahan ada pada:

  1. Warga, karena terlalu sensitif, mudah tersulut emosinya sehingga mudah terprovokasi oleh situasi dan kondisi yang tidak kondusif sehingga tidak berpikir rasional lagi untuk melakukan tindakan-tindakan anarkis. 
  2. Ibu Meiliana sendiri salah menurut saya karena beliau tidak bertenggang rasa, tidak pandai menyampaikan keluh kesah dengan cara yang bisa diterima dengan baik oleh pihak lain tapi justru menimbulkan ketersinggungan padahal sebenarnya keluhannya sudah disampaikan ke pengurus masjid dan masalah seharusnya sudah selesai ketika suami Meiliana meminta maaf atas sikap Ibu Meiliana. 
  3. Pengurus masjid menurut saya juga kurang bertoleransi karena jika saja mereka setuju untuk sedikit mengecilkan volume speaker masjid maka persoalan akan selesai dan jika hal itu sudah dilakukan dan tetap dikeluhkan karena masih dirasa menggangu maka yang bermasalah bukanlah suara speaker masjidnya melainkan yang bersangkutan sendiri.
  4. Pihak-pihak lain secara tidak langsung yang tidak memandang masalah ini secara lebih dalam tapi hanya dilihat dari permukaannnya saja, terjebak pada isu "keluhan adzan" sehingga kasus meluber, lari kemana-mana.

Kita semua sepakat kalau masalahnya berurusan dengan TOA (selanjutnya saya menyebut speaker masjid dengan TOA). Perlu ada aturan khusus untuk penggunaan TOA di masjid dan mushola. Perlu ada pembatasan seperti suara volume dan tujuan penggunakan TOA itu sendiri. Namun, semua itu seharusnya kembali kepada masyarakat (fleksibel). 

Pihak minoritas di dalam masyarakat itu harus diberi ruang untuk bicara diminta pendapatnya. Pihak mayoritas juga harus mau mendengarkan suara dari pihak minoritas. Jika semua pihak bisa saling bertoleransi dan bertenggang rasa dalam urusan TOA, maka saya rasa tak akan ada pihak-pihak yang merasa dirugikan karena sudah terjalin kesepakatan. 

Dan lebih penting lagi adalah sebaiknya dahulukan rasionalitas daripada emosionalitas saat menghadapi hal-hal yang tidak kondusif karena hal ini bisa meruncing menjadi masalah yang besar. Kita tahu bahwa hal-hal yang terkait dengan agama itu sangat sensitif sehingga kita harus jaga bersama-sama sensitivitas dari pemeluk agama, tidak hanya dilakukan mayoritas tapi juga minoritas. 

Kita harus belajar dari kasus-kasus serupa di negara lain, hanya persoalan sepele bisa menjadi kerusuhan, bahkan lebih mengerikan daripada sekedar perang kata di media sosial, atau ancaman bui bagi siapapun yang menyinggung agama. Ini bukan masalah yang remeh, hal seperti ini jika dibiarkan, akan menjadi bola liar yang ganas, dimainkan oleh pihak-pihak tertentu yang ingin merusak persatuan bangsa, memecah belah NKRI, mengadu domba antara mayoritas dan minoritas di negeri ini. Sebaiknya kita sama-sama mengerti, belajar untuk memahami satu sama lain, belajar untuk bertoleransi sekaligus bertenggang rasa, menciptakan sinergitas antara mayoritas dan minoritas. Mari bersama kita memulainya...

Salam damai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun