Mohon tunggu...
Wilda Hikmalia
Wilda Hikmalia Mohon Tunggu... Administrasi -

Usaha, do'a, yakin dan kerja keras. Serta tulus dan ikhlas

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Keliling Makassar bersama Babang Gojek

26 Oktober 2016   18:50 Diperbarui: 26 Oktober 2016   19:00 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah Adat Kab. Bulukumba dalam Kawasan Benteng Somba Opu

05 July 2016

Hari kedua saya masih menikmati perjalanan yang membawa langkah kaki menuju Ranah Daeng. Jarum jam menunjukkan pukul 9 pagi, dan saya sama sekali belum beranjak dari kasur. Selepas sholat shubuh saya merebahkan kembali badan di tempat tidur, mematikan AC, mengecilkan volume televisi dan membuka jendela kamar, membiarkan udara pagi Makassar menyeruak ke kamar 207 di lantai dua ini.

Selasa ini rencana saya ingin berkunjung ke Bantimurung dan Leang-Leang, namun niat itu segera diurungkan tak kala terik matahari Makassar menyengat dari luar kamar. Ah ingin rasanya hari ini cukup bermalas-malasan saja di penginapan sampe bedug magrib, buka puasa dan takbiran. Membayangkan naik-turun pete-pete, berjam-jam dan mengitari Bantimurung dalam kondisi bulan puasa seperti ini membuat saya sedikit sangsi untuk melangkah. 

Tidak efisien sepertinya. Sembari chatingan dengan travelmate di Jakarta sana, saya masih mencari-cari ide untuk city tour hari ini. Teman-teman pada pulang kampung dan sibuk mempersiapkan lebaran esok hari. Rental motor? Ah, siapa yang mau bawa? Tapi tetiba saya ingat aplikasi ojek online. Aha,,, why not?

Taraaa...finally di jam 10 pagi itu saya meluncur meninggalkan Wisma Jampea, memulai city tour Makassar dengan babang Gojek yang setia menemani. Helloo langit Makassar..Selamat pagi..

Gerbang Persaudaraan (Gerbang masuk Wisma Jampea)
Gerbang Persaudaraan (Gerbang masuk Wisma Jampea)
Tujuan utama saya adalah Pelabuhan Paotere dengan ongkos 15 ribu saja dengan jarak tempuh 4-5km dari pecinaan Ahmad Yani. Kalau dihitung-hitung ngeteng dengan pete-pete, becak/bentor hampir sama ongkosnya, belum lagi lelahnaik-turun dan sambung-menyambung pete-petenya. Ini tinggal duduk manis dibelakang driver, menikmati sepoi-sepoi angin motor saya sudah sampai di pelabuhan tertua di Kota Makassar ini.

Yang unik adalah tentunya percakapan yang terjadi disepanjang perjalanan. Aplikasi Gojek memang belum lama masuk ke Kota Makassar dan tentunya hampir sama dengan kota metropolitan lainnya, pro dan kontra pasti banyak terjadi. Penerimaan masyarakat pun beragam, karena itulah driver Gojek yang menjemput saya pagi ini adalah seorang anak muda, bercelana jeans selutut, kaos, jaket dan helm hitam. Tidak ada satupun atribut Gojek yang melekat didirinya. Saya pun dengan PD melenggang dari penginapan setelah diinfo oleh security kalau jemputan saya sudah datang.

Menjadi solo traveler terkadang juga menimbulkan ketakutan tersendiri bagi saya. Takut tersesat, takut kenapa-napa dan sering hal-hal negatif datang menghantui. Tapi segera semua saya usir jauh-jauh dari pikiran. Selagi niat baik, Insya Allah semesta pun akan mendukung dalam segala hal kebaikannya.

Pelabuhan Paotere – Sunda KelapaMakassar
Pelabuhan Paotere – Sunda KelapaMakassar
Kapal kecil penumpang dan polemik sampah diperairannya
Kapal kecil penumpang dan polemik sampah diperairannya
Tidak berlama-lama di Paotere, setelah mengambil beberapa jepretan dan berinteraksi dengan penduduk lokal yang akan menyebrang saya segera beralih ke spot berikutnya. Tujuan selanjutnya adalah Sungguminasa, menuju Istana Tamalate dan Museum Balla Lompoa. Lagi-lagi pilihan saya adalah Gojek. Dan masihdenganalasan yang sama.

Driver yang kedua ini memakai atribut lengkap, jacket (meski dibalik) dan helm hijau andalan Gojek. Saya menunggu lumayan lama, tadinya sudah agak was-was karena dari GPS aplikasi lokasi sang driver lumayan jauh darititikpenjemputan. Seperti biasa obrolan pun dibuka. 

Dan ujung-ujungnya dia menawarkan diri untuk menunggu. “Saya ngambil poto bisa 1sampai2 Jam lo Mas, kasihan nunggunya lama.” Saya masih memakai panggilan Mas, karena bingung menggunakan panggilan apa untuk lelaki Makassar. Daeng? Ketinggian. Kakak? Hallah itu buat perempuan cocoknya. Bang? Hhhm terkesan tidak enak di dengar. “Ga pa pa Kak, daripada saya kosong baliknya.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun