Mohon tunggu...
AHMAD CHOIRUL ROFIQ
AHMAD CHOIRUL ROFIQ Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di IAIN Ponorogo

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membangun Harmoni Sunni-Syiah

28 April 2016   12:13 Diperbarui: 28 April 2016   12:21 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kawasan Timur Tengah ternyata tidak kunjung selesai diterpa konflik horizontal. Gerakan kelompok ISIS belum mereda, perhatian dunia internasional sekarang tertuju kepada perang Yaman antara pemerintah Yaman menghadapi pemberontak Houthi atau Harakah Anshar Allah. Sebagian pihak menyatakan bahwa konflik di Yaman, bukanlah pertikaian antara kelompok Sunni dan Syi’ah (antaranews.com, 11 April 2015). Namun, sebenarnya nuansa konflik keagamaan sesama Muslim tidak dapat dipungkiri. Tulisan berikut ini memotret relasi Sunni dan Syi’ah secara historis yang ternyata cenderung diwarnai konflik. Analisis historis terhadap topik ini diharapkan menggugah semangat untuk senantiasa mengutamakan dialog dalam resolusi konflik agar relasi harmonis dapat direalisasikan.

Friksi-friksi Islam

Menurut sejarah Islam, perpecahan di kalangan umat Islam terjadi setelah Perang Shiffin antara Khalifah ‘Ali ibn Abi Thalib (w. 40 H / 661 M) dan Gubernur Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (w. 60 H / 680 M), pada tahun 37 H (657 M). Tiga fraksi kemudian muncul, yaitu pendukung ‘Ali yang disebut Syi‘ah, pendukung Mu‘awiyah, dan Khawarij yang tidak memihak ‘Ali maupun Mu’awiyah. Dalam perkembangan selanjutnya, kelompok Mu‘awiyah disebut Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau Sunni.

Pembicaraan mengenai Ahlus Sunnah wal Jama’ah biasanya dikaitkan dengan hadis Nabi Muhammad yang menyatakan adanya perpecahan umat Islam menjadi banyak golongan dan hanya satu golongan yang selamat. Ada dua versi hadis mengenai golongan yang dimaksud, yakni golongan yang disebut Rasulullah dengan Ma ana ‘alaih wa ashhabi(Golongan yang mengikuti aku dan para shahabatku) dan al-Jama‘ah(Golongan yang bersatu). Versi pertama diriwayatkan at-Tirmidzi bersumber dari ‘Abdullah ibn ‘Amr, sedangkan versi kedua diriwayatkan Abu Dawud bersumber dari Mu‘awiyah. Pada masa Mu‘awiyah, penistaan terhadap ‘Ali dan keluarganya ditradisikan. Masyarakat yang mengikuti pelestarian tradisi negatif ini disebut Ahlus Sunnah. Mu‘awiyah bahkan menambahkan label al-Jama‘ah sehingga menjadi Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dengan demikian, mazhab Sunni merupakan golongan yang mendukung mayoritas muslim. Doktrin teologis Sunni kemudian semakin diformulasikan oleh Abu Manshur Muhammad al-Maturidi (w. 333 H / 944 M), Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 330 H / 941 M), dan Abu Ja’far al-Thahawi (w. 321 H / 933 M). Dalam praktik fiqh, mazhab Sunni dikembangkan oleh Abu Hanifah (Hanafi), Malik ibn Anas (Maliki), Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (Syafi’i), dan Ahmad ibn Hanbal (Hanbali).

Adapun Syi’ah meyakini bahwa penerus kepemimpinan politik setelah Nabi Muhammad wafat adalah ‘Ali ibn Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Rasulullah. Meskipun Syi’ah berkembang menjadi beberapa sekte, tetapi masing-masing mempunyai kesamaan doktrin bahwa sebenarnya Rasulullah secara jelas menunjuk ‘Ali sebagai penggantinya. Di antara mereka ialah Salman al-Farisi, al-‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthallib, ‘Ammar ibn Yasir, Abu Dzarr al-Gifari, Ubai ibn Ka‘b, dan al-Barra' ibn ‘Azib. Penunjukan ‘Ali terjadi di suatu tempat antara Mekah dan Madinah yang bernama Gadir Khumm sepulang dari haji Wada‘ pada 18 Dzulhijjah 10 H (10 Maret 632 M) ketika Rasulullah menyampaikan hadis: “Barangsiapa menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka ‘Ali juga menjadi pemimpinnya.” Tetapi doktrin ini disangkal kalangan Sunni sebab hadis itu menunjukkan konteks pertolongan dan kasih sayang, bukan pemberian kekuasaan atau kepemimpinan. Seandainya Rasulullah telah menunjuk ‘Ali sebagai penggantinya, tentu para khalifah sebelum ‘Ali tidak mau menerima pembaiatan mereka.

Sebagian masyarakat muslim lainnya meyakini bahwa setiap orang berhak menjadi pemimpin umat Islam, tanpa melihat asalnya. Orang yang berasal dari bangsa Arab maupun ‘ajam(bukan dari bangsa Arab) dapat dijadikan pemimpin. Pendapat kelompok terakhir inilah yang dipegangi oleh semua sekte Khawarij. Makna hadis: al-A'immah min Quraisy(“Para pemimpin berasal dari Quraisy.”) sangat membatasi kesempatan orang-orang yang tidak berasal dari Quraisy untuk menjadi pemimpin. Oleh karena itu, wajar jika para pengikut Khawarij biasanya bukan dari Quraisy. Secara kuantitas, jumlah pengikut Khawarij menempati urutan ketiga setelah Sunni dan Syi’ah.

Mengikis Ironi Perseteruan Sunni dan Syi’ah

Hal yang menyedihkan, relasi di antara sekte-sekte Islam tersebut cenderung antagonistik. Perselisihan di kalangan umat Islam, terutama mengenai persoalan politik sektarian terus mewarnai perjalanan sejarah Islam. Konflik tersebut bahkan menelan banyak korban dari kaum Muslimin sendiri. Kenyataan inilah yang telah ditegaskan oleh asy-Syahrastani di dalam karya monumentalnya al-Milal wa an-Nihalbahwa konflik paling berdarah yang terjadi di tengah umat Islam adalah konflik yang berkaitan dengan kekuasaan. Dalam setiap perjalanan masa, tidak ada pedang yang terhunus di dalam masyarakat Islam demi alasan keagamaan sebagaimana terhunusnya pedang yang dipicu oleh permasalahan kekuasaan.

Fakta-fakta historis berikut ini menegaskan kenyataan pahit tersebut. Pada masa kekuasaan Dinasti Umawiyyah, para pengikut Syi’ah dan Khawarij mengalami tekanan keras. Gerakan oposisi mereka diberangus oleh pemerintah Umawiyyah secara kejam, meskipun penindasan tersebut sempat berhenti sejenak selama kepemimpinan Khalifah ‘Umar ibn ‘Abdul Aziz (98-101 H / 717-720 M) yang terkenal dengan kesalehan dan keadilannya. Peralihan kekuasaan dari Umawiyyah ke ‘Abbasiyah juga tidak mengubah kebijakan represif terhadap Syi’ah dan Khawarij.

Karena setiap penguasa dari tiap sekte Islam biasanya tidak toleran kepada sekte lain, maka kebijakan represif akhirnya diterapkan secara silih berganti dan berlatar belakang fanatisme sektarian. Ketika Dinasti Fatimiyah yang beraliran Syi’ah berhasil memantapkan kekuasaannya di hadapan ‘Abbasiyah yang Sunni, mereka menyebarkan ajaran Syi’ah secara gencar. Sebaliknya, setelah Dinasti Fatimiyah digulingkan Dinasti Ayyubiyah yang Sunni, penyebaran Syi’ah dihentikan. Lembaga al-Azhar yang didirikan Fatimiyah sebagai pusat pengajaran Syi’ah ditutup dan selanjutnya diorientasikan untuk mengajarkan mazhab Sunni. Buku-buku tuntunan Syi’ah dimusnahkan karena dinilai menyimpang menurut pandangan Sunni.

Konflik Sunni dan Syi’ah yang justru melemahkan umat Islam berlangsung antara Dinasti Turki Usmani dan Dinasti Safawiyah. Turki Usmani yang mengalahkan Safawiyah berhasil memaksa Safawiyah agar menghentikan penistaan kepada Khalifah Abu Bakr ash-Shiddiq, ‘Umar ibn al-Khattab, dan ‘Usman ibn ‘Affan. Sungguh ironis, penistaan kepada figur-figur al-Khulafa’ ar-Rasyidun dilakukan oleh umat Islam sendiri. Khalifah ‘Ali dihina saat Umawiyyah berkuasa, sedangkan tiga khalifah sebelum ‘Ali juga dinistakan ketika Safawiyyah memegang pemerintahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun