Permasalahan sampah menjadi isu lingkungan yang tak kunjung selesai, termasuk di Desa Linggoasri. Dengan jumlah penduduk hampir dua ribu jiwa, desa ini ikut menyumbang volume sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bojonglarang yang menampung rata-rata 135 ton sampah per hari. Kondisi tersebut menimbulkan keresahan, mengingat sebagian besar sampah berasal dari limbah rumah tangga yang belum terkelola dengan baik.
Melihat persoalan itu, mahasiswa KKN Unnes berinisiatif menghadirkan teknologi biopori. Teknologi ini sebenarnya bukan hal baru, namun penerapannya dinilai efektif untuk mengurai sampah organik, meningkatkan resapan air, sekaligus menghasilkan pupuk kompos yang bisa dimanfaatkan warga. Program ini secara khusus menyasar ibu-ibu Kelompok Wanita Tani (KWT) Desa Linggoasri yang selama ini aktif dalam kegiatan pertanian rumah tangga.
Kegiatan dilaksanakan pada 9 Agustus 2025, diawali dengan sosialisasi mengenai dampak penumpukan sampah dan manfaat biopori. Dalam kesempatan itu, para peserta diberikan pemahaman tentang cara membuat lubang biopori, perawatan, hingga manfaat yang bisa dirasakan. Antusiasme warga terlihat jelas ketika mereka terlibat langsung dalam praktik pembuatan biopori di halaman balai desa dan kebun KWT.
Proses pembuatan biopori dilakukan dengan menyiapkan pipa paralon yang diberi lubang menggunakan bor, lalu ditanam ke dalam tanah sesuai ukuran. Pipa-pipa tersebut kemudian diisi dengan sampah organik seperti sisa sayur dan buah, yang diselingi dengan tanah dan siraman air cucian beras. Setelah tertutup rapat, biopori dibiarkan bekerja secara alami mengurai sampah menjadi pupuk kompos.
Hasilnya, sepuluh lubang biopori berhasil dibuat (lima di halaman balai desa dan lima di kebun KWT). Keberadaan biopori ini langsung dimanfaatkan warga untuk membuang sisa makanan yang sebelumnya hanya menumpuk. Dalam jangka panjang, lubang-lubang tersebut diproyeksikan menghasilkan kompos yang bisa digunakan kembali untuk menyuburkan lahan pertanian warga.
Program ini mendapat respon positif dari masyarakat. Selain membantu mengurangi tumpukan sampah, biopori juga memberikan nilai tambah berupa ketersediaan pupuk organik gratis. Bagi petani, hal ini tentu mengurangi biaya produksi sekaligus menjaga kualitas tanah. Lebih jauh, penerapan biopori mendorong terbentuknya budaya baru dalam mengelola sampah rumah tangga secara mandiri dan ramah lingkungan.
Dengan langkah sederhana ini, Desa Linggoasri berpotensi menjadi contoh praktik baik dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Teknologi biopori bukan hanya solusi teknis, tetapi juga sarana edukasi yang mampu menumbuhkan kesadaran warga bahwa sampah tidak selamanya menjadi masalah, melainkan bisa menjadi sumber daya bernilai.
Penerapan biopori di Desa Linggoasri membuktikan bahwa solusi lingkungan tidak selalu harus rumit dan mahal. Dengan kolaborasi antara mahasiswa dan masyarakat, perubahan besar dapat dimulai dari langkah kecil. Harapannya, praktik baik ini dapat terus dilanjutkan secara berkelanjutan dan menjadi inspirasi bagi desa-desa lain dalam mengatasi persoalan sampah rumah tangga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI