Bayangkan jika menjadi calon anggota legislatif (caleg) harus melalui proses seleksi seperti melamar pekerjaan di perusahaan bonafide. Bukan cuma setor nama dan popularitas, tapi harus mengirim CV, menghadapi psikotes, diuji integritas, diuji logika dan wawasan, bahkan melewati wawancara panel layaknya menghadapi HRD dan user interview. Kedengarannya kaku? Mungkin. Tapi bisa jadi inilah mekanisme yang kita butuhkan untuk menyaring para pembuat undang-undang agar lebih berkualitas, bukan sekadar terkenal atau dekat dengan pemilik partai.
Dalam dunia kerja profesional, proses rekrutmen sangat ketat. Calon karyawan diuji tidak hanya dari segi kompetensi teknis, tapi juga soft skill, karakter, dan kecocokan budaya kerja. Bahkan untuk posisi level rendah, seorang pelamar bisa gagal hanya karena tidak bisa menjelaskan motivasi kerjanya atau menunjukkan sikap tidak etis selama wawancara. Pertanyaannya: mengapa standar yang begitu tinggi itu tidak berlaku ketika seseorang ingin menduduki jabatan publik seperti anggota DPR?
Padahal, tanggung jawab mereka jauh lebih besar. Seorang anggota legislatif bukan hanya bekerja untuk institusinya sendiri, melainkan untuk rakyat. Mereka berperan dalam membuat undang-undang, mengawasi jalannya pemerintahan, dan menentukan arah kebijakan negara. Logikanya, jabatan dengan tanggung jawab sebesar itu seharusnya memiliki proses seleksi yang setara—atau bahkan lebih ketat,dari proses rekrutmen perusahaan swasta.
Namun, kenyataannya sangat berbeda. Sistem pencalonan legislatif di Indonesia sangat politis dan cenderung pragmatis. Banyak partai lebih memilih caleg berdasarkan "daya jual": siapa yang populer, siapa yang punya modal besar, atau siapa yang punya koneksi kuat. Kualitas pribadi, integritas, dan kapabilitas sering kali menjadi pertimbangan sekunder,jika dipertimbangkan sama sekali.
Lalu bagaimana jika kita balik cara mainnya? Mari bayangkan proses pencalegan seperti rekrutmen kerja. Caleg harus menyusun CV yang menunjukkan riwayat pendidikan, pengalaman organisasi, keterlibatan sosial, dan prestasi pribadi. Mereka harus menulis surat motivasi tentang alasan ingin menjadi legislator, serta apa visi dan program yang ingin dibawa ke parlemen.
Kemudian mereka melewati serangkaian tes tertulis: mulai dari pengetahuan konstitusi, ekonomi, hukum dasar, hingga logika dan analisis kebijakan publik. Setelah itu, masuk ke tahap wawancara, di mana mereka diuji etika, empati, kemampuan komunikasi, hingga simulasi perdebatan publik. Dan tentu saja, seluruh proses ini dilakukan secara transparan, dengan penilaian objektif yang bisa diakses publik.
Hasilnya? Bisa jadi kita akan melihat parlemen yang lebih profesional. Bukan lagi dipenuhi wajah-wajah selebritas atau pengusaha yang sekadar cari panggung, melainkan orang-orang yang benar-benar paham fungsi legislasi dan siap bekerja keras. Seperti halnya seorang manajer proyek atau analis kebijakan, mereka akan sadar bahwa duduk di kursi parlemen bukan tentang status, tapi tentang kontribusi nyata.
Tentu, perubahan sistem seperti ini tidak mudah. Butuh reformasi besar dalam struktur partai politik, yang hingga kini masih tertutup dan elitis. Partai harus bertransformasi menjadi lembaga modern yang menjunjung meritokrasi, bukan sekadar kendaraan politik bagi segelintir elite. Selain itu, regulasi juga perlu mengatur standar minimal kompetensi untuk caleg, seperti yang diterapkan untuk jabatan publik lainnya.
Kita juga tak boleh lupa bahwa dalam demokrasi, rakyat tetap punya peran akhir dalam memilih. Maka edukasi politik harus ditingkatkan, agar masyarakat tidak hanya memilih karena nama besar, sembako, atau baliho raksasa, tapi karena kualitas dan program kerja calon.
Toh, sudah saatnya kita berpikir serius: kalau perusahaan saja tidak mau asal menerima karyawan, mengapa kita masih membiarkan orang "masuk kerja" di DPR tanpa proses seleksi yang layak?
Mungkin mimpi tentang caleg yang harus lolos interview HRD terdengar terlalu idealis. Tapi semua perubahan besar selalu dimulai dari pertanyaan “bagaimana jika”. Dan dalam kasus ini, “bagaimana jika proses rekrutmen anggota legislatif kita perketat, seperti memilih pemimpin perusahaan?” Jawabannya mungkin bisa membawa kita ke demokrasi yang lebih sehat dan parlemen yang benar-benar bekerja.