Rumahku rumah dunia, kubangun dengan kata-kata
Slogan ini tak hanya bergema di Rumah Dunia, kota Serang dan sekitarnya saja tapi juga di dalam kepala saya berpuluh tahun lamanya. Sejak dulu saya sudah mendengar soal Rumah Dunia yang didirikan oleh Gol A Gong bersama istrinya ini.
Rumah ini awalnya dibuka agar anak-anak sekitar bisa membaca buku secara gratis. Sang istri, Tias Tantaka juga kerap membacakan dongeng agar anak-anak semakin tertarik dan dekat dengan buku-buku. Lambat laun tempat ini bertumbuh dan berkembang menjadi pusat literasi masyarakat setempat.
Saya sendiri tak menyangka bahwa Rumah Dunia ini ternyata sebuah kawasan literasi. Tak hanya perpustakaan tapi ada juga auditorium, pendopo, area ruang terbuka, coffee shop hingga publishing. Lokasinya berada di tengah-tengah pemukiman warga.
"Benar di sini tempatnya?" tanya sopir taksol yang saya tumpangi dengan nada heran.Â
"Iya Pak, saya mau ke rumah baca," balas saya sekenanya sembari turun meninggalkan mobil dengan sopir yang mungkin penuh tanda tanya.
Hari itu minggu pagi, warga sekitar terlihat sudah mulai beraktivitas. Beberapa anak terlihat tengah bermain di area taman. Sebuah bangunan bercat merah muda yang mulai pudar dan bertuliskan Rumah Dunia menarik langkah saya untuk melihat lebih dekat.
Owh, ini rupanya taman baca Rumah Dunia yang sering saya dengar itu. Di sebelah bangunan itu berdiri sebuah pendopo yang lumayan lebar. Sebuah mobil bergambar poster film Balada si Roy terparkir di dalamnya.
Film tersebut merupakan adaptasi dari novel Balada si Roy yang terbit tahun 1989 silam. Sebuah novel yang awalnya merupakan cerita bersambung di majalah Hai yang diterbitkan satu tahun sebelumnya. Bisa dibilang Novel inilah yang melambungkan nama Gol A Gong.
Selain dikenal sebagai penulis dan pendiri Rumah Dunia, Gol A Gong juga dikenal sebagai pegiat literasi dan duta baca Indonesia periode 2021 - 2016, menggantikan Najwa Shihab.
Soal dedikasi di dunia literasi tentu sudah tidak diragukan lagi, selain ratusan buku yang sudah diterbitkan, Gol A Gong juga menggerakkan masyarakat untuk membaca dan menulis melalui Rumah Dunia yang ia bangun ini. Mungkin itulah mengapa Perpustakaan Nasional memilihnya sebagai duta baca Indonesia.
Harapan terbesar saya ketika menginjakkan kaki ke Rumah Dunia tentunya ingin bertemu beliau, sayangnya saya tak membuat janji sebelumnya. Berdasarkan info warga sekitar, Gol A Gong sedang melakukan perjalanan ke daerah Jawa.
Setelah saya cek di akun IGnya, rupanya Gol A Gong sedang berada di Warung Pasinaon, bergas Kab. Semarang. Sebuah tempat yang tak jauh dari kampung halaman saya, Ungaran. Loh, kok bisa ketuker begitu ya?!
"Lah.. itu dekat tempat saya Pak Ungaran, tadi pagi saya mampir ke Rumah Dunia, malah Bapak ke Warung Pasinaon dekat rumah saya," tulis saya di kolom komentar. Tentu kami tidak saling mengenal dekat tapi beliau cukup supel untuk merespon setiap komentar di IGnya.
Mungkin saya datang terlalu pagi jadi Rumah Dunia terlihat masih sepi. Di sebelah pendopo tadi terdapat auditorium. Saya tidak menengok ke dalamnya tapi sepertinya sering juga dipakai untuk kegiatan warga.
Di sisi kiri bangunan terdapat tagline "Rumahku Rumah Dunia Kubangun dengan Kata-Kata," dengan beberapa huruf yang sudah hilang tapi masih bisa terbaca.
Area ini bisa dibilang cukup rindang. Banyak pepohonan tumbuh di antaranya. Ada pohon bambu, jati dan pohon yang tak saya ketahui jenisnya. Intinya pohon-pohon itu membuat suasana panas kota Serang menjadi lebih teduh.
Di bagian depan Rumah Baca terdapat area terbuka dengan batu melingkar. Sepertinya ini adalah area teater atau area yang biasa dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas terbuka.
Di sebelah kanan ada bangunan bernama Rendez Vous Cafe dan kantor Gong Publishing. Sebuah rak yang tidak terlalu besar berdiri di depan tulisan publishing tadi. Lagi-lagi ketika saya di sana tempat ini juga terlihat senyap tanpa suara maupun aktivitas.
Saya dan kawan saya bertemu seorang ibu penjual makanan keliling. Ia menawarkan dagangan kepada kami yang tengah duduk di atas batu melingkar. Kami membeli 2 ketan, 2 bungkus telur puyuh, pisang goreng, dan timus. Semuanya hanya 12 ribu lima ratus rupiah. Rupanya harga-harga di daerah ini masih tergolong murah. Kami makan sembari berpikir apa yang harus dilakukan di tempat itu.
Seorang laki-laki tengah menyapu halaman Rumah Dunia yang penuh daun-daun kering. Saya memohon izin untuk menengok bagian dalam dari Rumah Dunia. Ia membolehkan sembari terlebih dahulu menyapu bagian terasnya.
Rumah Dunia terlihat seperti rumah biasa baik jika dilihat dari luar maupun dari dalamnya. Ada beberapa rak yang berisi buku-buku. Di dinding-dindingnya terdapat beberapa berita dari koran lawas seputar Gol A Gong dan Rumah Dunia serta cover-cover novel, termasuk novel lawas Balada si Roy.
Mungkin terlihat lawas dan lusuh tapi biar bagaimanapun ruangan ini menjadi saksi sejarah perjalanan Gol A Gong dalam memajukan literasi di daerahnya. Konsisten di dunia literasi itu tidak mudah. Tidak banyak orang tertarik dengan literasi. Bahkan sopir taksi yang saya naiki sepulang dari Rumah Dunia tak mengenal Gol A Gong.
Aneh memang. Saya saja yang tumbuh di kota Semarang yang notabene jauh dari Serang tahu dengan Gol A Gong tapi warga Serang sendiri malah tidak tahu. Mereka tak tahu bahwa di kota tempat mereka hidup seorang duta baca Indonesia. Mereka tidak tahu pula bahwa ia adalah seorang penulis dengan karya ternama yang bahkan sudah diangkat ke layar lebar.
Kita bisa membayangkan, beratnya perjuangan Gol A Gong untuk mengenalkan literasi. Jangankan jauh ke seluruh Indonesia, di kota sendiri pun harus terseok seok.
Masalahnya adalah ini bukan tanggung jawab Gol A Gong semata. Perpusnas memilih beliau menjadi duta baca bukan untuk melempar tanggung jawab. Sudah menjadi tugas kita semua untuk mendukung dan meningkatkan literasi di Indonesia. Tak hanya pemerintah, perpusnas dan duta baca saja tapi juga keluarga dan masyarakat pada umumnya.
Minat baca di Indonesia rendah salah satunya adalah karena tidak adanya budaya membaca baik di lingkungan masyarakat maupun keluarga. Jika pemerintah berfokus pada program-program yang dinilai mampu meningkatkan minat baca maka orang tua pun punya andil yang sangat besar dalam membentuk kebiasaan membaca dari rumah.
Adanya taman baca yang dibangun oleh masyarakat seperti halnya Rumah Dunia ini juga menjadi salah satu jembatan untuk meningkatkan literasi warga. Tak hanya sekadar membaca, ruang-ruang seperti ini juga memberi kesempatan warga untuk belajar dan berkreasi.
Wadah-wadah seperti ini perlu diperbanyak. Saya harap jumlahnya semakin bertambah dan lokasinya dekat dengan rumah-rumah penduduk.
Saya pun datang ke tempat ini dengan impian suatu saat bisa membangun taman baca sendiri. Sebuah taman baca yang berisi dunia seisinya, sebuah taman baca yang saya bangun dengan kata-kata. Bahkan saya sudah menyiapkan namanya. Doakan saja!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI