Saya selalu merasa bahwa cinta pertama tak benar-benar lenyap. Mungkin ia tak lagi hadir di keseharian, tetapi kenangannya akan terus hidup dan sesekali muncul di kepala, seperti lagu lama yang mendadak terputar. Dan bagi saya, cinta pertama itu bukan gadis berkepang merah di bangku SD, bukan pula gebetan masa remaja yang dulu saya kirimi emotikon hati lewat Bluetooth. Cinta pertama saya justru bernama “nasi goreng jam dua pagi” yang dulu selalu saya nikmati bersama Ibu, sebelum akhirnya saya hijrah ke Jakarta untuk hidup mandiri ala anak kos setengah siap.
Kala itu, baru dua pekan saya tinggal di ibu kota. Rasanya seperti dibuang ke dunia yang benar-benar asing. Kemacetan tanpa ampun, wajah-wajah yang jarang tersenyum, dan yang paling terasa: hilangnya suara Ibu dari dapur yang biasanya bertanya, “Dik, lapar? Mau nasi goreng jam dua enggak?” Ibu saya memang tak seperti kebanyakan orang tua yang mengomel bila anaknya belum tidur malam. Ia justru menjadi teman begadang paling setia, entah karena tidak bisa tidur, atau sekadar ingin menemani anak semata wayangnya menonton video acak di YouTube saat dini hari.
Dulu, setiap kali rasa lapar muncul di tengah malam, Ibu seolah berubah jadi pahlawan. Dapur langsung hidup: suara wajan bertemu spatula, aroma bawang putih menyebar, dan telur diceplok dengan teknik khas beliau, kuning telurnya selalu utuh. Nasi goreng buatan Ibu sederhana, tanpa topping mewah, tapi rasanya tak terganti. Bahan spesialnya? Cinta tulus dari tangan yang membesarkan saya tanpa pamrih.
Kini, tinggal di kontrakan sempit wilayah selatan Jakarta, saya berusaha meniru kembali momen itu. Saya beli bahan-bahan seadanya: minyak goreng, nasi semalam, cabai, bawang, dan telur. Tapi saat saya masak sendiri, suasananya berbeda. Tak ada suara celoteh Ibu, tak ada tangan yang menyajikan dengan senyum hangat, tak ada kecap ekstra yang dituang sambil berkata, “Biar manis, kayak kamu.” Yang ada hanya saya, sendirian, dengan wajan yang miring dan rasa nasi goreng yang gosong.
Kadang, di malam yang terlalu sunyi dan perut tak tahan kosong, saya mencoba memesan nasi goreng lewat aplikasi. Namun meski harganya dua kali lipat, rasanya tetap tak bisa menyamai buatan rumah. Ada yang hilang, bukan cuma soal rasa, tapi suasana. Kehangatan rumah. Keakraban yang tak tergantikan. Semua itu kini digantikan oleh suara kendaraan dan tetangga yang entah mengapa hobi karaoke dini hari.
Momen paling menyentuh terjadi saat saya menyantap nasi goreng hasil masakan sendiri sambil menelepon Ibu. Saya ceritakan betapa gagal bentuk dan rasanya. “Mirip cinta yang tak direstui,” kata saya. Ibu tertawa, tawa yang mengingatkan saya pada suara kerupuk yang sering menemani makan malam kami. Dan tiba-tiba, saya terisak. Saya kira saya cukup kuat. Nyatanya, saya cuma anak tunggal yang belum benar-benar siap hidup tanpa nasi goreng tengah malam buatan Ibu.
Jakarta memang keras, tapi di sinilah saya belajar menjadi dewasa. Saya mulai memahami bahwa kerinduan tak harus ditolak, tapi bisa dinikmati pelan-pelan. Sesekali, saat kepala penuh tekanan dan hati lelah, saya kembali memasak nasi goreng jam dua pagi. Lalu duduk di lantai, membayangkan Ibu ada di seberang, menyentuh kepala saya sambil berkata, “Tenang aja, Dik. Semua akan baik-baik saja.”
Dari semua ini saya menyadari bahwa cinta pertama tidak selalu berakhir dengan luka. Ia bisa hidup dalam bentuk lain, seperti kenangan yang tak lekang. Dan setiap sendok nasi goreng di malam hari adalah pengingat bahwa jauh di sana, ada seseorang yang mencintai saya melalui perhatian kecil yang tak pernah ia minta balasan.
Jadi, jika kau bertanya siapa cinta pertama saya, saya akan menjawab dengan yakin: nasi goreng jam dua pagi. Bukan hanya karena rasanya, tapi karena siapa yang meraciknya. Dan karena melalui makanan itulah, saya merasa dicintai, bahkan dari kejauhan di tengah dinginnya ibu kota.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI