Topeng di Balik Senyuman
Di sebuah kampung sederhana, hiduplah seorang pemuda bernama Raka. Di hadapan warga, ia dikenal sebagai sosok yang rajin beribadah, pandai berkata manis, dan gemar bersedekah. Namun, di balik itu semua, hatinya keras dan penuh kepalsuan. Ia berbuat bukan karena tulus, melainkan demi pujian dan penghormatan.
Suatu sore, sahabat lamanya, Danu, menghampirinya. Mereka duduk di serambi masjid setelah shalat berjamaah.
"Raka," ucap Danu pelan, "aku perhatikan sikapmu akhir-akhir ini. Kau selalu tampak berbeda antara di depan orang dan ketika sendiri. Bukankah itu berbahaya?"
Raka tersenyum miring. "Ah, Danu. Itu hanya caraku bertahan. Kalau aku tampak baik, semua orang menghormatiku. Itu yang penting."
Danu menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Tapi apa gunanya hormat manusia kalau Allah membencimu? Kau tahu, munafik itu bukan sekadar berdusta, tapi juga mengkhianati dirimu sendiri. Kau hidup dengan topeng, Rak."
Raka terdiam sesaat, lalu menghela napas. "Aku tidak peduli. Aku sudah nyaman begini. Orang menganggapku mulia, dan itu cukup."
Danu menggenggam tangan sahabatnya. "Raka, kerasnya hatimu hanya akan membuatmu hancur. Kau bisa menipu dunia, tapi tidak bisa menipu Tuhan. Sampai kapan kau berpura-pura? Sampai kapan kau menutup telingamu dari kebenaran?"
Air mata Danu jatuh. Namun Raka malah menarik tangannya. "Sudahlah, Dan. Aku tahu apa yang kulakukan. Jangan ikut campur."
Malam itu, Raka pulang dengan dada kosong. Senyum orang-orang yang memujinya tak lagi berarti. Ia berbaring, menatap langit-langit kamar, tapi hatinya gelisah. Kata-kata Danu berputar di kepalanya: "Kau bisa menipu dunia, tapi tidak bisa menipu Tuhan."
Namun, hatinya yang keras masih menolak mengakui. Ia memilih menutup mata, hidup dalam kepura-puraan, meski setiap hari jiwanya kian sepi.