Malang, Jawa TimurÂ
Semarak warna dan motif batik mewarnai atrium Mall Malang City Point (MCP) pada tanggal 17-19 Oktober 2025. Lantunan musik gamelan mengiringi penampilan tari pembuka yang anggun, dilanjutkan dengan parade busana dari para desainer muda lokal. Semua tampak meriah, namun di balik kemeriahan itu, masih tersisa beberapa catatan kritis mengenai arah dan dampak dari perayaan batik di era digital.Â
Festival Batik Nusantara 2025 ini diselenggarakan oleh MDP Persada dalam rangka memperingati Hari Batik Nasional. Kegiatan tersebut menghadirkan beragam pelaku UMKM batik dari kecamatan se-Kota Malang serta beberapa perajin dari luar daerah. Salah satu peserta, Lili Merta dari Sentra Batik Sawojajar, menuturkan bahwa ajang ini bukan sekadar ruang pamer, tetapi juga peluang menambah pendapatan dan kebanggaan bagi pengrajin. "Kami senang karena pameran seperti ini bisa memperkenalkan karya batik Malang ke masyarakat luas," ujarnya. Namun, meski peserta cukup beragam, tingkat kunjungan publik masih belum seramai yang diharapkan. Menurutnya, daya tarik mall tempat acara digelar kurang kuat dibandingkan pameran di kota lain.
Acara ini digelar di Mall Malang City Point (MCP) pada bulan Oktober, bertepatan dengan momentum Hari Batik Nasional. Lokasi dipilih karena dinilai strategis dan memiliki fasilitas yang memadai. Menurut Linda, selaku panitia acara, "Masyarakat Malang suka beraktivitas di mall, jadi kami pilih MCP agar mudah dijangkau dan sesuai dengan anggaran yang ada." Festival ini sendiri merupakan bagian dari rangkaian pameran tiga kota dimulai dari Malang, lalu berlanjut ke Pekalongan dan Magelang secara bergilir setiap pekan.
Namun di tengah jalannya acara, muncul kendala teknis yang cukup mengganggu, seperti sound system yang tiba-tiba mati ketika pertunjukan berlangsung. Masalah tersebut menandai bahwa aspek teknis masih menjadi titik lemah dalam event budaya di ruang komersial.
Tujuan utama festival ini adalah meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap batik dan mendorong daya jual produk lokal.
Panitia menilai acara di Malang justru memberi hasil penjualan yang lebih tinggi dibandingkan di kota lain. "Kalau di Malang, orang yang melihat pameran biasanya membeli. Kalau di kota lain, lebih banyak yang hanya datang tanpa transaksi," ungkap Linda. Meski begitu, respon audiens terhadap produk batik cukup positif. Pengunjung mengapresiasi harga yang lebih terjangkau dibandingkan harga di galeri. "Harga di sini lebih miring, jadi banyak yang akhirnya beli," kata Ibu Lili.
Sayangnya, minat masyarakat umum untuk datang ke lokasi pameran dinilai menurun, salah satu penyebabnya adalah pergeseran kebiasaan belanja ke platform online. Fenomena ini menunjukkan tantangan nyata bagi pameran budaya yang mengandalkan interaksi langsung. Dari sisi pelaku, Ibu Lili berharap agar tahun depan pameran dapat digelar di tempat yang lebih luas dan terbuka. "Kalau bisa di Lapangan Rampal, pasti lebih ramai dan bisa menampilkan lebih banyak pertunjukan di panggung."
Sementara dari sisi penyelenggara, Kak Linda mengeluhkan pelayanan pengelola mall yang kurang maksimal. "Kami menyewa tempat, tapi fasilitas dan dukungan teknis tidak sepadan dengan biaya yang dikeluarkan," ujarnya.
Kendala tersebut memperlihatkan perlunya koordinasi lebih baik antara panitia, pengelola tempat, dan pelaku UMKM agar acara berjalan profesional dan layak disebut festival budaya nasional. Pameran Batik Malang menegaskan bahwa semangat mencintai wastra Nusantara masih hidup di tengah masyarakat. Namun, pementasan budaya dan fashion show yang digelar di ruang mall justru memunculkan paradoks: antara pelestarian tradisi dan komersialisasi ruang.