Senangnya Anak Naik Motor Listrik, Tapi Apakah Aman?
Pagi itu, di halaman kompleks perumahan, dua anak kecil melintas dengan motor listrik kecil mereka, tanpa helm dan tanpa pengawasan. Senyum merekah, lampu kelap-kelip, namun ketegangan mencekam ketika salah satu hampir ditabrak motor besar. Fenomena motor listrik anak bukan sekadar tren; ia potret risiko nyata.
Sepeda Listrik Bukan Mainan Ringan
Data dari Satlantas dan MTI memperlihatkan 647 kasus kecelakaan melibatkan sepeda listrik sepanjang Januari–Juni 2024, banyak di antaranya melibatkan anak-anak. Di Surabaya, Satlantas mengingatkan bahwa motor listrik turut menyumbang peningkatan kecelakaan anak di bawah 17 tahun. Bahkan, kasus bocah tanpa helm kejang-kejang usai terjatuh viral di media sosial.
Mengendarai motor listrik terlihat praktis dan “ramah lingkungan”, namun anak-anak belum siap secara fisik maupun mental. Koordinasi otot, kesadaran lalu lintas, dan refleks mereka masih berkembang membuat kecepatan motor kecil pun menjadi momok.
Aturan Sudah Ada, Tapi Prakteknya Minim Teguran
Permenhub No. 45 Tahun 2020 mengatur bahwa motor listrik hanya boleh dikendarai oleh anak usia minimal 12 tahun, dengan helm standar SNI, dan tidak boleh memasuki jalan raya kecuali lajur khusus. Sayangnya, penindakan seringkali tidak konsisten. Warga menyalahkan lemahnya pengawasan dan orang tua yang lalai membiarkan anak berkendara tanpa persiapan .
Praktis versus Bahaya Nyata
Motor listrik terlihat seperti solusi praktis untuk mobilitas anak dalam radius pendek. Tapi tren ini menyembunyikan risiko besar: kecepatan tinggi tanpa kontrol, kecelakaan yang tak terduga, hingga trauma psikologis bagi anak dan keluarga.
Artikel oleh UNESA memaparkan bahwa banyak orang tua belum memahami larangan membawa sepeda listrik oleh anak di bawah 12 tahun dan penggunaan helm, sedangkan risiko jatuh dari kendaraan ini tetap tinggi.
Solusi: Edukasi, Aturan, dan Pengawasan
Solusi terhadap maraknya penggunaan motor listrik oleh anak-anak harus dimulai dari edukasi kepada orang tua melalui dialog yang membangun kesadaran, misalnya dengan analogi bahwa berkendara tanpa helm layaknya bermain skateboard dari atas atap rumah—sama-sama berisiko. Selain itu, perlu diterapkan aturan keluarga yang tegas, seperti batas usia minimal, penggunaan helm, dan pembatasan area berkendara hanya di dalam kompleks. Peran sekolah juga penting untuk memasukkan materi keselamatan berkendara sejak dini, dibarengi dengan kampanye di media sosial yang mudah dipahami anak dan remaja. Di sisi lain, regulasi seperti Permenhub No. 45 Tahun 2020 harus ditegakkan secara konsisten melalui patroli rutin di area rawan, agar keselamatan anak tak hanya jadi wacana, tetapi budaya bersama.
Kesimpulan: Praktis Tak Harus Berisiko
Motor listrik anak memang terlihat praktis dan gaya hidup yang menyenangkan. Namun, bila keselamatan menjadi taruhan, maka tren itu menjadi bahaya besar. Edukasi orang tua, penegakan aturan, dan pengawasan yang ketat adalah pondasi untuk memastikan motor listrik tak sekadar tren, tetapi bisa menjadi aman.
Karena pada akhirnya, keselamatan tidak boleh dijadikan aksesori gaya hidup yang mengancam nyawa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI