Setelah anakku tertidur dan selesai bertanya tentang segala hal yang melintas di benaknya kini saatnya aku menarik secarik kertas menorehkan beberapa untaian kalimat tentang hari ini. Menjelang dzuhur tadi pagi Senin 6 Maret 2024 adik bungsu menelpon menggunakan nomor Bapakku. Sebelumnya ia mengirimkan sebuah video pendek kondisi ibuku yang sedang dipasang infus. Saat ditelfon ibuku hanya mengatakan "mamak meriang Lis" Baca Mamak sakit Lis Sambil mata terpejam.Â
Aku pun berusaha tegar melihat kondisi ibuku yang terbaring lemah yang tampak sekali ingin lelap tertidur. Aku berusaha tenang dan menghibur serta tidak lupa mendoakan kesembuhan mamak ku. Telfon ditutup, aku pun berusaha mengalihkan perhatianku dengan beberes rumah dan memeriksa gawai.Â
Sudah Asar waktunya menjemput putriku sekolah. Sebelum sampai sekolah aku mampir ke warung sayur. Saat aku hendak memasukan buah Pir ke dalam keranjang telfonku berdering. Di ujung sana kakakku sudah sesenggukan menangis dan mengatakan mamak wis gak ono Lis.
"Oh Iyo mbak, tak njemput bar kui langsung mangkat"Â Baca oh iya mbak, aku menjemput dulu, setelah itu langsung berangkat. Setelah telfon ditutup aku memeriksa pesan dari adikku beberapa menit sebelumnya menyuruhku untuk membeli tiket pulang dari Yogyakarta menuju Brabasan Mesuji Lampung.Â
Aku langsung mengirim pesan kepada suamiku.Â
"Mamakku meninggal".
Aku menjemput putriku dan mengatakan kalau kita mah ke Lampung, Mbah Yati meninggal.Â
" Nanti aku harus ijin dong ga berangkat sekolah"
Aku pun mendengar celotehan anakku sepanjang jalan pulang dengan pikiran yang rapuh dan tidak fokus. Putriku baru 6 tahun, sepertinya ia belum mengerti benar apa itu makna perpisahan dari kematian.Â
Karena beberapa hari yang lalu ia baru saja bertanya tentang Bu Sis, Ibu sayur langganan kami yang sudah meninggal saat putriku usia 3 tahun. Ia bertanya:"Mah bu Sis sekarang di surga apa lagi ngapain" Tanya anakku sambil memegang rambutnya membayangkan jembatan shirot yang seperti rambut dibelah tujuh.Â
Angin yang menerpa wajahku sore ini terasa dingin dan memilukan. Aku berharap kabar ini hanya kabar angin, ternyata bukan. Kabar ini nyata adanya. Hari ini aku telah menjadi piatu dan penyesalan yang bergumul di dadaku.Â
Penyesalan datang saat aku menjabat hangat khas orang demam tangan mamakku Selasa 30 April 2024 lalu saat aku bertemu di Jombang acara pernikahan sepupu. Mengapa saat itu aku tidak membawa mamakku periksa ke dokter atau layanan terdekat. Mengapa aku hanya menanyai saja dan percaya saat mamakku mengatakan "ora popo Lis" Ga papa Lis. Namun penyesalan ini cukup sampai di sini. Saat sebuah peristiwa buruk terjadi, aku dilarang untuk berkata seandainya aku begini, begitu. Tapi katakanlah Qodarullah wa ma sya a fa'al. Ini adalah Takdir Allah dan Apa Yang Allah Kehendaki, Dia Lakukan. Begitulah dulu aku diajarkan oleh Abi Atang.Â
Aku menghela nafas perlahan menyadari bahwa beberapa hal dapat aku jadikan pelajaran yang berfaedah dan begitu juga dengan handai taulan.Â
1. Gawai memang bisa mengalihkan perhatian dari kerunyaman pikiran tapi kerunyaman pikiran bila diisi dengan dzikir jauh lebih melegakan lagi menentramkan dan tak meninggalkan sesal.Â
2. Kita tidak tahu kapan kita berjabat tangan dengan ibu, sepenting itu! bila bertemu jangan lupa salim dan berjabat tangan dengan mahrom.Â
3. Bila ibu berkata baik-baik saja, ada kalanya kita perlu memberi perhatian dan kasih sayang yang lebih dari biasanya.Â
4. Biarpun dalam keadaan duka saat memesan tiket perjalanan harus tetap bijaksana dan jernih secara berkala.Â
Mamakku Ibu Suryati memang telah pergi tapi aku masih selalu ingat agar tak boleh sombong saat kehidupan kelak sudah menjadi berpunya lagi berada. Meski mamaku tak pernah menceramahi tapi mamakku selalu tampak lega dan nerima pada setiap keadaan sulit yang ia lewati dengan mengatakan "wis takdire Lis, sudah takdirnya Lis"Â
Mamakku yang menyadari kekurangan yang ia miliki dan juga hati yang luas lagi baik untuk bisa berbagi. Naiknya yang kadang ia jadikan humor untuk menghibur diri.Â
Mamakku istri yang senantiasa berusaha taat sepenuh hati. ibu yang berdedikasi tinggi dan juga kerabat yang berusaha untuk bersinergi.Â
Mamakku aku akan mengunjungi yang telah pergi.Â
Tulisan ini diselesaikan di hawa dingin kereta Argo Dwipangga yang baru saja tiba di stasiun Cirebon. Selasa 7 April 2024
Aku yang kehilangan Ibu yang doanya memudahkan urusan dalam hidupku.Â
Eliza Yuliantari biasa dipanggil mamak dengan "Lisa"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI