Mohon tunggu...
chiaix
chiaix Mohon Tunggu... Pelajar

electronic diary :V

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Diary: Biarkan Orang Menghina Kita, Kita Tetap Jalan Terus alias Gaskan

8 September 2025   18:42 Diperbarui: 8 September 2025   18:42 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari ini gue mau cerita sesuatu yang lumayan bikin gue mikir panjang. Pas pelajaran biologi tadi, gue sempet lihat sesuatu yang menurut gue termasuk indisipliner. Gue liat Angel duduk dengan seragam yang menurut pandangan gue kurang lengkap --- sabuk sekolahnya belum dipakai.

Gue refleks nanya ke dia, pake bahasa Jawa, "Njel, gek ndang nganggo sabuk sekolah, mengko ndak diseneni karo aku." (Artinya: Njel, cepat pakai sabuk sekolah, nanti kena marah sama aku.)

Angel santai jawab, "Kuwi sabuk sekolah ku neng njero tas, ngko dakanggo." (Artinya: Itu sabuk sekolahku ada di dalam tas, nanti kupakai.)

Oke, akhirnya Angel beneran pakai sabuk sekolah, dan duduknya pindah sebelah Nindi. Nah, pas Nindi kebetulan lihat Galih lagi main HP saat pelajaran, Angel nyeletuk sambil nengok ke gue, "Mau aku diseneni, saiki neng sebelahmu -- menirmu ora? Piye ki seksi disipline?" (Artinya: Tadi aku kena tegur, sekarang di sebelahmu -- itu menirmu nggak kamu tegur? Gimana sih seksi disiplin?)

Nah, disini gue harus jelasin dulu. Angel itu biasa manggil Galih "menir." Kata menir itu berasal dari bahasa Belanda meneer, yang artinya "tuan" atau "pak." Di era kolonial dulu, sapaan ini buat nunjukin rasa hormat, seperti "Meneer Van Eijk." Lucunya, Angel itu suka pake istilah ini ke Galih, karena Galih (sebagai seksi kebersihan dan seksi KPKC (keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan) kelas XI A -- punya aura menir alias rabbi era 90-an. Oh ya, kata Meneer itu digunakan untuk memanggil guru laki-laki dari murid yang sekolah di Sulawesi Utara. 

Sedangkan gue? Gue manggil Galih dengan sebutan "rabi." Bukan rabi yang artinya nikah, ya --- tapi dari bahasa Ibrani yang artinya "tuanku, guruku, suhuku." Jadi, buat gue, Galih itu bukan cuma teman, tapi kayak guru gue abad 90an. Label guru adalah orang pintar sudah melekat dari jaman dulu sampai sekarang. Jaman orang tua kita atau kakek nenek kita sekolah, guru bukan saja jadi tempat bertanya para muridnya bahkan juga masyarakat di sekitarnya. Apalagi kalau di desa. Guru adalah sosok tetua yang akan dimintai pendapat pertama kalau ada masalah. Dia orang yang gue anggap punya insight dan sering gue ikutin pendapatnya.

Nah, di titik ini gue bingung. Gue sebagai seksi disiplin kelas XI A harusnya bertindak, tapi sisi pribadi gue ngerasa ini bukan masalah gede banget. Gue nunggu respon Galih. Dia santai aja, cuma nyeletuk: "Ora ngurus!" (Nggak usah diurus!)

Yaudah, kami berdua sepakat untuk nggak ributin itu. Tapi rupanya, dari pandangan Angel, keputusan kami itu dianggap aneh. Menurut telinga gue, Angel bilang kalau gue sama Galih itu orang aneh.

Dan yang bikin gue ketawa kecil, Galih bisik-bisik ke gue, "Ey, aja percaya karo anomali loro iki." (Artinya: Hey, jangan percaya sama dua anomali ini.)

Disitu gue ngakak dalam hati. Kata anomali di sini dipake buat ngecap dua orang yang menurut kami "nyeleneh" atau di luar pola biasa. Memang secara ilmiah anomali artinya penyimpangan dari kebiasaan, tapi di bahasa gaul kami artinya bisa juga "orang yang beda banget sampai absurd."

Akhirnya, kami berdua ---  kami sepakat untuk terus jalan aja dengan cara kami. Walaupun mungkin di mata Angel atau Nindi kami dianggap aneh, tapi prinsipnya jelas: Biarkan orang menghina kita, kita jalan terus alias gaskan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun