Mohon tunggu...
Petriana Purnama Dewi
Petriana Purnama Dewi Mohon Tunggu... Mahasiswa Filsafat Universitas Gadjah Mada

Topik konten favorit politik dan filsafat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Barak Militer: Pendidikan Karakter vs. Pelanggaran Konstitusional

1 Juni 2025   16:11 Diperbarui: 5 Juli 2025   20:55 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang menjabat pada periode 2025-2030 menuai kontroversi dengan rencananya dalam membangun barak militer bagi siswa yang terlibat dalam kenakalan remaja. Program yang disebut-sebut sebagai solusi pendidikan karakter alternatif ini menimbulkan banyak pertanyaan besar, seperti apakah metode semi-militer merupakan inovasi dalam pendidikan atau sebaliknya, melanggar hak anak yang dilindungi oleh Konstitusi?


Akhir-akhir ini masyarakat banyak sekali memperbincangkan berita yang sedang memuncak, yaitu barak militer yang dibangun oleh Dedi Mulyadi selaku Gubernur Jawa Barat. Beliau memang terkenal dalam mengatasi masalah sosial dengan metode yang tidak biasa. Salah satunya adalah mendirikan "barak militer" yang ditujukan bagi remaja-remaja yang bermasalah termasuk mereka yang tertangkap karena keterlibatannya dalam tawuran, penggunaan narkoba, dan bolos sekolah. Barak militer ini difasilitasi dengan pelatihan fisik rutin yang berat, pengawasan intensif, dan rutinitas ala militer yang ketat guna melatih para remaja menjadi pribadi yang lebih disiplin dan belajar dari kesalahan sebelumnya. Dedi menyebutkan bahwa ini adalah cara untuk "membentuk karakter dan tanggung jawab moral generasi muda" (Kompas.com, 2023).


Dalam pelaksanaan kegiatan tersebut, pastinya terdapat banyak pihak yang memiliki perbedaan pendapat baik itu positif maupun negatif begitu juga dalam perspektif masyarakat. Walaupun bertujuan untuk mendidik, program yang diselenggarakan oleh Dedi Mulyadi ini mendapatkan kritik keras dari berbagai lembaga dan akademisi, seperti komnas HAM, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan sejumlah organisasi masyarakat sipil yang menyatakan bahwa program yang diselenggarakan ini berpotensi untuk melanggar hak-hak anak sebagaimana konstitusi dan Undang-Undang Perlindungan Anak yang disebutkan pada pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang menjamin bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminiasi. Lalu, diperkuat oleh UU No. 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak (yang telah diperbarui menjadi UU No.35 Tahun 2014) yang menegaskan bahwa pendekatan dalam menangani kenakalan remaja harus dengan prinsip kepentingan terbaik anak dan non-punitif.  Metode semi-militer yang diberlakukan terhadap anak-anak tanpa proses hukum yang sah dan pendampingan psikologis, dapat memunculkan tanda tanya besar perihal legitimasi hukumnya. Lebih jauh lagi, pelatihan ala militer pada anak yang belum dewasa dapat mengarah pada bentuk kekerasan sistemik yang terselubung. Sebagaimana yang diajarkan oleh Ki Hadjar Dewantara, pendidikan karakter semestinya berakar pada pendekatan dialogis, partisipatif, dan humanis.
Sesuai dengan diskursus filsafat pendidikan, dalam pendekatan Dedi Mulyadi cenderung berlawanan dengan gagasan Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970), yang mengkritik metode pendidikan yang menindas dan memperlakukan peserta didik sebagai objek. Dalam konteks ini, barak militer justru mereproduksi logika penindasan dengan dalih kedisiplinan. Meskipun tujuan utamanya adalah membentuk karakter, perlu untuk dipahami bahwa pendidikan karakter tak terpisahkan dari prinsip-prinsip demokrasi, partisipasi, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Thomas Lickona, tokoh pendidikan asal Amerika Serikat, karakter tidak bisa dibentuk melalui paksaan, tetapi melalui pembiasaan nilai dan keteladanan (Lickona, 1991). Pertanyaanya kemudian adalah: apakah bentuk barak militer ini merupakan respons terhadap kegagalan system pendidikan formal dalam membentuk karakter peserta didik? Jika iya, maka yang menjadi solusi seharusnya bukanlah dengan menciptakan model pendidikan yang mirip dengan pemidanaan, namun mereformasi system dari pendidikan tersebut agar lebih inklusif, relevan, dan adaptif terhadap kebutuhan psikososial pada remaja.


        Namun, dalam penerapanya, kesaksian remaja yang dibina ke barak militer sangat bervariasi, mulai dari pengakuan dan perubahan positif hingga rasa tidak betah. Namun, terdapat beberapa remaja yang mengikuti program barak militer cenderung mendapatkan pengalaman positif. Hal ini diperkuat dengan kesaksian remaja perempuan pada unggahan tiktok @inilah.com yang mengakui nyaman di barak militer karena dirumah sering bertengkar dan berisik, remaja tersebut juga mengaku bahwa barak militer lebih nyaman  daripada di rumah. Dampak positif tersebut tidak hanya dirasakan oleh penghuni barak militer, namun juga orang tua mereka. Kesaksian dari salah satu orang tua, yakni ibu Cantika yang mengaku sangat mendukung dan antusias dengan program barak militer. Cantika mengungkapkan bahwa anaknya ketahuan merokok di sekolah "awalnya itu ketahuan merokok di lingkungan sekolah, lalu ketahuan temanya dan dilaporkan ke pihak sekolah" di unggah pada laman youtube @tvOneNews. Ia mengatakan bahwa terdapat perizinan dari pihak sekolah terlebih dahulu sebelum putranya dibimbing ke barak militer.


        Program barak militer yang digagas Gubernur Dedi Mulyadi memang bertujuan membina remaja bermasalah melalui kedisiplinan. Namun, pendekatan semi-militer ini menimbulkan kekhawatiran karena berpotensi melanggar hak anak dan tidak sesuai dengan prinsip pendidikan yang humanis. Meski ada dampak positif yang dirasakan sebagian peserta, pendidikan karakter seharusnya dibentuk lewat pendekatan yang dialogis, partisipatif, dan berbasis hak asasi. Untuk itu mungkin pemerintah dapat mereformasi sistem pendidikan formal agar lebih adaptif terhadap kebutuhan remaja, serta menyediakan dukungan psikologis yang memadai. Pembinaan karakter mestinya tumbuh dari empati, bukan paksaan.

Daftar Pustaka
Kompas.com. (2023). Dedi Mulyadi Buka Barak Militer untuk Remaja Nakal. Diakses dari: https://www.kompas.com
 inilah.com. (2025, May 13). Seorang remaja mengakui kenyamanan di barak militer. Tiktok.com; @inilah.com. https://vt.tiktok.com/ZSkNhWL2T/
tvOneNews. (2025, May 2). Dikirim Ke Barak Militer, Begini Kesaksian Orang Tua Remaja di Jabar | AKIP tvOne. Youtube. https://youtu.be/Myh2By3glNY?si=Bem9vMgdo4BsT2Ph
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Indonesia. (2022). Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, UU No. 23 Tahun 2022. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Lickona, T. (1991). Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. Bantam Books.
Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. Continuum.

 
           

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun