Desa Sukamaju mengenal Pak Bram sebagai orang yang paling dermawan dan taat beribadah. Setiap Jumat, ia selalu yang pertama mengisi kotak amal masjid, dengan senyum ramah yang seolah menyimpan seluruh kebaikan dunia. la selalu berkhotbah tentang pentingnya keikhlasan dan menjauhi sifat munafik di setiap kesempatan.Namun, di balik pagar bambu rumahnya, ada kehidupan lain.
   Sore itu, di ruang tengah yang beraroma dupa cendana, Bu Ningsih, istrinya, memberanikan diri. "Mas, sudah seminggu Pak RT minta kita ikut gotong royong membersihkan selokan di ujung desa. Kasihan warga di sana, airnya meluap terus."Pak Bram, yang sedang asyik menghitung setoran uang kontrakan, hanya melirik sekilas. Wajahnya yang tadi berseri di hadapan jamaah, kini mengeras. "Gotong royong? Untuk apa? Itu tugas Pemerintah Desa, bukan urusanku." Bu Ningsih membenarkan ujung jilbabnya. "Tapi, Mas... kita kan tetangga. Di majelis, Mas selalu bilang pentingnya tolong-menolong.Bukankah itu ikhlas?"Seketika, Pak Bram membanting buku catatannya. Suara benturan itu memecah keheningan."Ikhlas? Tentu saja aku ikhlas. Ikhlas menyumbang untuk masjid, itu adalah bekal di akhirat nanti. Membersihkan selokan? Itu kotor, buang-buang waktu, dan tidak ada yang melihat!" Pak Bram menunjuk dadanya dengan jari telunjuk, sorot matanya tajam dan keras hati. "Kepentingan sendiri lebih utama. Biar saja mereka susah, biar mereka belajar mandiri.Kenapa juga harus aku yang repot? Cukup aku salat, dan orang-orang akan melihat betapa solehnya aku."Bu Ningsih terdiam, hatinya perih. Suaminya yang bersemangat mengkritik tetangga yang 'pelit' di depan umum, justru menjadi orang yang paling enggan mengulurkan tangan untuk pekerjaan yang tak mendatangkan  pujian atau keuntungan materi. la tahu, di mata suaminya, kemuliaan dinilai dari kekayaan dan pengakuan sosial, bukan dari amal sejati.Â
  Beberapa hari kemudian, musibah tak terhindarkan. Hujan deras membuat air selokan di ujung desa meluap hingga merendam sebagian sawah milik Pak Bram yang berada di dataran rendah. Pak RT, ditemani beberapa warga, datang ke rumahnya."Maaf Pak Bram," kata Pak RT hati-hati, "Kami sudah berusaha semampu kami, tapi tanggulnya jebol. Airnya mengalir ke sawah Bapak. Kami butuh tenaga ekstra dan karung pasir segera." Wajah Pak Bram pucat pasi melihat kerusakan sawahnya. Nilai kerugian langsung terbayang di benaknya."Kenapa kalian tidak mengerjakannya dari dulu?! Sudah kubilang, jangan malas! Kalian ini bodoh sekali, tidak becus mengurus selokan desa!" teriak Pak Bram,amarahnya meluap. Pak RT menunduk, namun salah seorang pemuda yang bernama Rahmat memberanikan diri."Maaf, Pak. Bapak bilang gotong royong itu bukan urusan Bapak. Kami sudah berusaha semampu kami dengan yang ada. Bapak adalah orang terkaya di sini, tapi saat kami minta bantuan tenaga dan karung pasir minggu lalu, Bapak menolak. Rahmat menarik napas. "Bukankah Bapak mengajarkan kami untuk jangan jadi orang yang 'munafik' dan harus peduli? Kami bekerja di lumpur, berkorban waktu, sementara Bapak nyaman di rumah. Sekarang, sawah Bapak kena, baru Bapak menuduh kami bodoh?" Pak Bram terhenyak. Semua mata warga menatapnya, bukan lagi dengan rasa hormat, melainkan dengan kekecewaan dan Pak Bram terhenyak. Semua mata warga menatapnya, bukan lagi dengan rasa hormat, melainkan dengan kekecewaan dan pandangan menilai. Topeng kebaikan yang ia kenakan selama ini terasa retak, menampakkan wajah aslinya yang egois dan keras hati.
  Di tengah lumpur sawahnya yang hancur, ia menyadari, sumbangan paling berharga bukanlah uang yang dimasukkan ke kotak amal, melainkan kerelaan hati untuk berkorban tanpa imbalan, sesuatu yang ia khotbahkan namun tak pernah ia praktikkan. Penyesalan itu datang terlambat, dihantam oleh kenyataan pahit bahwa kemunafikan dan kekerasan hatinya telah kembali menghancurkan miliknya sendiri. la kehilangan sawah dan, yang lebih menyakitkan, ia kehilangan kehormatan sejati di mata sesama manusia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI